Termasuk menyucikan hadats itu ialah wudlu, mandi dan tayammum dan sebagai pendahuluannya yaitu beristinjak. Maka dari itu perlu kiranya kami uraikan disini secara tertib dengan menyebutkan sekali adab-adab kesopanannya serta kesunnahan-kesunnahannya. Kami mulai dengan sebabnya berwudlu’ dan adab-adab kesopanan mendatangi hajat (yakni buang air kecil atau besar). Insya Allah.
Adab kesopanan membuang hajat
Seyogianya seseorang yang hendak mendatangi hajatnya (buang air) itu hendaklah menjauh dari pandangan semua orang yang sekiranya dapat melihatnya. Hal ini jikalau melakukannya itu dilapangan yang terbuka. Sebaiknya ia membuat tutup (tabir) dengan apa saja yang dapat digunakan, sekiranya ia dapat menemukannya. Hendaklah orang itu tidak tergesa-gesa membuka 'auratnya lebih dahulu sebelum ia sampai ditempat duduknya (tempat buang air). Juga jangan menghadap kearah kiblat atau membelakanginya. Hendaklah ia menjaga, jangan sampai melakukan itu ditempat yang biasa digunakan orang-orang banyak untuk tempat berhenti dan bercakap-cakap.
Diwaktu membuang air kecil, janganlah ditempat yang berair tidak dapat mengalir, jangan pula dibawah pohon yang berbuah atau ditempat yang berlubang. Juga jangan ditempat yang keras atau ditempat hembusan angin diwaktu membuang air kecil itu, agar supaya tetap terjaga kebersihannya dari percikan air seninya. Disaat melakukannya itu hendaklah duduk bersandar pada kaki kiri.
Apabila melakukan buang air disuatu tempat yang berupa bangunan, maka hendaklah didahulukan kaki yang kiri diwaktu memasukinya dan kaki kanan diwaktu keluarnya. Jangan sampai membawa sesuatu benda yang disitu ada sebutan nama Allah Ta’ala atau Rasulullah s a.w. Ketika masuk, hendaklah mengucapkan.
بسم ٱلله ، أ عود بالله من الخبث و الخبائث
Bismillaah, a'udubillaahi minal khubsi wal khobaais.
"Dengan nama Allah, saya mohon perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan lelaki atau perempuan"
Adapun ketika keluarnya, hendaklah mengucapkan:
الحمدلله الذي أذهب عني ما يؤ ديني وابق علي ما ينفعني
Alhamdulillaahilladii adhaba 'annii maa yu diinii wa abko 'alayya maa yannpa'unii.
"Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan apa-apa yang menyakiti dari diriku menetapkan apa-apa yang memberikan kemanfaatan padaku".
Selanjutnya apabila telah selesai membuang air kecil, hendaklah disempurnakan dengan mengurutnya tiga kali dan jangan banyak memikirkan mengenai kebersihannya itu, supaya jangan sampai berwaswas dan akhirnya akan menyukarkan dirinya sendiri. Jikalau dirasanya masih ada sesuatu yang basah, hendaklah dikira-kirakan saja bahwa itu adalah sisa air yang digunakan beristinjak tadi. Ingatlah bahwa orang yang teringan cara pembersihannya itulah orang yang terpandai fikihnya, sebab adanya kewaswasan itu sebenarnya adalah menunjukkan kekurangan ilmu fikihnya.
Termasuk sesuatu yang dirukhshahkan (keringanan dalam hukum) ialah bahwa seseorang itu boleh saja membuang air kecil didekat kawannya, tetapi harus tertutup dari padanya itu. Hal yang sedemikian ini pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. sendiri, padahal beliau sa.w. adalah begitu sangat malunya. Tetapi dilakukannya juga yang sedemikian itu untuk memberikan penerangan kepada ummatnya bahwa hal itu memang dirukhshahkan.
Cara beristinjak
Untuk sekali duduknya dalam membuang air itu, haruslah beristinjak dengan menggunakan tiga buah batu. Selain batu dapat pula digunakan segala sesuatu yang memang kasar asalkan suci. Selanjutnya dapat pula beristinjak dengan menggunakan air. Caranya ialah supaya menyiramnya dengan tangan kanan diatas tempat yang disucikan, sementara itu tangan kirinya menggosok tempat tadi, sehingga tiada suatu bekaspun yang masih tertinggal disitu. Hal ini dapat dirasakan dengan pegangan tapak tangannya. Hendaklah dalam beristinjak itu, jangan menyangatnya-ngatkan, sehingga sampai-sampai merogoh tempat yang bagian dalamnya, sebab bahkan yang semacam inilah yang merupakan sumber kewaswasan. Hendaklah diketahui bahwa mana-mana anggauta yang tidak dapat dicapai oleh air, maka itu sudah termasuk yang bagian dalam, sedangkan hukum najis itu tidak ada untuk kotoran-kotoran yang ada dibagian dalam tadi, selama belum keluar. Jikalau ia telah keluar dan yang ada itulah yang ditetapkan dalam hukum kenajisan, maka batas penyuciannya ialah cukup asalkan sudah dicapai oleh air yang dilalui kotoran itu dihilangkannya. Dengan demikian, maka tidak ada perlunya lagi untuk kewaswasan itu dilakukan.
Halaman: 39 s/d 41
Ihya Ulumuddin
Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mumin ringkasan dari Ihya Ulumuddin
Minggu, 08 Januari 2017
Sabtu, 07 Januari 2017
A. Menyucikan Kotoran Atau Najis (Alat Penyuci Dan Cara Menyucikan)
Pembahasan dalam hal ini bergantung pada:
a. Yang disucikan,
b. Alat penyuci dan
c. Cara menyucikan.
Najis
Benda-benda najis itu ada tiga macam yaitu benda-benda padat atau cair, golongan binatang dan bagian anggota-anggota binatang.
Adapun golongan benda yang padat atau cair, maka semuanya itu suci hukumnya, kecuali arak (minuman keras) dan segala minuman yang diarakkan serta yang memabukkan.
Mengenai binatang, maka semua golongan binatang adalah suci, kecuali anjing dan babi. Semua golongan binatang itu apabila telah mati, maka menjadi najis melainkan lima macam yaitu:
a. Manusia,
b. Ikan air,
c. Belalang,
d. Ulat buah-buahan dan yang semakna dengan itu yakni ulat yang muncul dari segala macam makanan dan
e. Semua yang tidak berdarah yang mengalir seperti lalat, kepik dan lain-lain. Oleh sebab itu, maka air yang ke jatuhan binatang-binatang seperti ini, tidaklah menjadi najis hukumnya.
Tentang bagian anggota-anggota binatang itu ada dua macam, yaitu:
Pertama: Anggota yang terpotong dari binatang itu dan hukumnya adalah hukum bangkai. Adapun rambutnya, maka tidaklah najis baik sebab disembelih atau sebab mati, tetapi tulangnya adalah najis.
Kedua: Benda-benda basah yang keluar dari dalam binatang itu, maka mana-mana yang tidak mempunyai ketetapan tempat yakni yang tempatnya tidak menentu disesuatu anggota badan, hukumnya adalah suci seperti air mata, keringat, liur dan ingus, sedang mana-mana yang mempunyai ketetapan tempat yakni yang tempatnya menentu disesuatu anggota badan, hukumnya adalah najis, kecuali benda-benda yang merupakan asal kejadian binatang itu, seperti mani dan telur. Adapun nanah, darah, tahi dan air kencing binatang itu semua najis.
Dari golongan najis-najis yang tersebut itu, baik sedikit ataupun banyak, tidak ada yang dapat dimaafkan, kecuali dalam lima hal:
Pertama: Bekas bersuci dengan istinjak yang menggunakan batu, maka bekas itu dapat dimaafkan apabila tidak ada sesuatu bendapun yang melampaui batas tempat keluarnya (dubur)
Kedua: Lumpur jalan dan debu dari kotoran tahi dijalan. Keduanya dapat dimaafkan sekalipun diyakinkan adanya najis itu yakni sekedar yang sukar menjaganya dari terkena benda-benda tadi. Jadi yang si terkena benda-benda tadi tidak dapat dikatakan teledor atau berlalai-lalai atau disengaja.
Ketiga: Apa-apa yang ada dibawah sepatu dan sebangsanya yakni najis-najis yang menempel disitu yang sekiranya tidak sesuatu jalanannyapun yang sunyi dari benda-benda najis itu, maka bagian bawahnya itu dapat dimaafkan dengan jalan digosokkan sewaktu diperlukan.
Keempat: Darah udang (binatang-binatang kecil), baik sedikit atau banyak, kecuali kalau sudah melewati batas kebiasaan, baikpun yang menempel dipakaian kita sendiri atau dipakaian orang lain lalu kita mengenakannya.
Kelima : Darah kudis atau bisul ataupun apa-apa yang terpisah dari padanya, baik yang berupa nanah atau nanah yang bercampur darah. Hal yang sedemikian dapat dibuktikan bahwa Abdullah bin Umar r.a ’anhuma pernah berbisul dimukanya lalu keluarlah darah dari lukanya itu, kemudian ia bersembahyang dan tidak membasuhnya lebih dulu. Termasuk pula dalam hukum ini ialah sesuatu yang memancar dari kotoran-kotoran bisul atau luka-luka yang biasanya terus-menerus keluar, seperti bekas luka-luka karena pembedahan atau operasi, kecuali jikalau terjadinya itu merupakan suatu hal yang jarang, baik berupa luka atau lain-lainnya, maka yang sedemikian itu dapat dipersamakan dengan hukum darah istihadlah (darah yang keluar dari wanita karena menderita sakit). Jadi tidak dapat dimasukan dalam pengertian bisul atau kudis-kudis yang biasanya dalam beberapa hal manusia tidak akan sunyi dari padanya.
Adapun kelonggaran yang diberikan oleh syara' yang berhubungan dengan lima macam najis itu, sebagaimana kita ketahui ialah agar urusan thaharah itu dibuat seringan mungkin. Maka dari itu, segala sesuatu yang dibuat-buat sehingga tampak adanya waswas dalam berbagai hal, itu semata-mata tidak berpokok dan tidak ada sandarannya sama sekali.
Alat penyuci
Alat penyuci itu ada yang berupa benda padat dan ada yang berupa benda cair. Yang berupa benda padat, misalnya ialah batu yang digunakan untuk beristinjak. Ini adalah menyucikan secara pencucian yang ringan, dengan syarat bahwa benda itu hendaklah keras, suci, dapat mengisap serta bukan termasuk yang dimuliakan. Adapun dari golongan alat penyucikan yang berupa benda cair, maka segala macam najis itu tidak dapat disucikan melainkan dengan menggunakan air. Air itupun tidak sembarangan air, tetapi harus yang suci yang tidak menjadi berubah secara nyata karena bercampur dengan sesuatu yang tidak-diperlukan olehnya. Air itu dapat dikeluarkan dari nama air suci, apabila ia menjadi berubah dengan sebab terkena najis dan perubahan itu baikpun yang mengenai rasa, warna atau baunya. Jadi sekiranya dengan terkena najis itu tidak berubah rasa, warna dan baunya, maka tidaklah dianggap najis, sebab berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w.:
"Allah mebuat air suci itu, tidak dapat dinajiskan oleh sesuatuapapun, kecuali kalau sampai mengubah rasa, warna atau baunya".
Diriwayatkan diri Abu Umamah.
Cara menyucikan
Najis itu apabila hukmiah yakni yang tidak berjirim atau berbenda yang dapat diraba, maka untuk menyucikannya cukuplah dengan mengalirkan air keseluruh tempat yang dianggap ada najisnya itu. Adapun kalau berupa najis ’ainiah yakni yang berbenda jelas, maka haruslah dihilangkan bendanya dulu. Mengenai tetapnya warna, maka apabila telah dikucek dan diusahakan sungguh-sungguh hilangnya, tetapi masih tetap tampak, hal itu adalah dimaafkan. Adapun perihal bau, maka jikalau memang sukar dihilangkan dan telah diperas berkali-kali dan berturut-turut, sehingga dapat menyamai kucekan dalam hal warna, maka itupun dapat dimaafkan dan tidak perlu diwaswaskan lagi.
Bagi orang yang suka berwaswas, maka suatu jalan untuk menghilangkan kewaswasannya itu ialah supaya ia mengetahui benar-benar bahwa segala benda itu dijadikan dalam keadaan suci dengan keyakinan yang mantap. Oleh sebab itu sesuatu yang tidak jelas bahwa disitu ada kenajisannya dan tidak diketahuinya dengan keyakinan yang sesungguh-sungguhnya, maka boleh sajalah digunakan untuk bersembahyang.
Halaman: 36 s/d 39
a. Yang disucikan,
b. Alat penyuci dan
c. Cara menyucikan.
Najis
Benda-benda najis itu ada tiga macam yaitu benda-benda padat atau cair, golongan binatang dan bagian anggota-anggota binatang.
Adapun golongan benda yang padat atau cair, maka semuanya itu suci hukumnya, kecuali arak (minuman keras) dan segala minuman yang diarakkan serta yang memabukkan.
Mengenai binatang, maka semua golongan binatang adalah suci, kecuali anjing dan babi. Semua golongan binatang itu apabila telah mati, maka menjadi najis melainkan lima macam yaitu:
a. Manusia,
b. Ikan air,
c. Belalang,
d. Ulat buah-buahan dan yang semakna dengan itu yakni ulat yang muncul dari segala macam makanan dan
e. Semua yang tidak berdarah yang mengalir seperti lalat, kepik dan lain-lain. Oleh sebab itu, maka air yang ke jatuhan binatang-binatang seperti ini, tidaklah menjadi najis hukumnya.
Tentang bagian anggota-anggota binatang itu ada dua macam, yaitu:
Pertama: Anggota yang terpotong dari binatang itu dan hukumnya adalah hukum bangkai. Adapun rambutnya, maka tidaklah najis baik sebab disembelih atau sebab mati, tetapi tulangnya adalah najis.
Kedua: Benda-benda basah yang keluar dari dalam binatang itu, maka mana-mana yang tidak mempunyai ketetapan tempat yakni yang tempatnya tidak menentu disesuatu anggota badan, hukumnya adalah suci seperti air mata, keringat, liur dan ingus, sedang mana-mana yang mempunyai ketetapan tempat yakni yang tempatnya menentu disesuatu anggota badan, hukumnya adalah najis, kecuali benda-benda yang merupakan asal kejadian binatang itu, seperti mani dan telur. Adapun nanah, darah, tahi dan air kencing binatang itu semua najis.
Dari golongan najis-najis yang tersebut itu, baik sedikit ataupun banyak, tidak ada yang dapat dimaafkan, kecuali dalam lima hal:
Pertama: Bekas bersuci dengan istinjak yang menggunakan batu, maka bekas itu dapat dimaafkan apabila tidak ada sesuatu bendapun yang melampaui batas tempat keluarnya (dubur)
Kedua: Lumpur jalan dan debu dari kotoran tahi dijalan. Keduanya dapat dimaafkan sekalipun diyakinkan adanya najis itu yakni sekedar yang sukar menjaganya dari terkena benda-benda tadi. Jadi yang si terkena benda-benda tadi tidak dapat dikatakan teledor atau berlalai-lalai atau disengaja.
Ketiga: Apa-apa yang ada dibawah sepatu dan sebangsanya yakni najis-najis yang menempel disitu yang sekiranya tidak sesuatu jalanannyapun yang sunyi dari benda-benda najis itu, maka bagian bawahnya itu dapat dimaafkan dengan jalan digosokkan sewaktu diperlukan.
Keempat: Darah udang (binatang-binatang kecil), baik sedikit atau banyak, kecuali kalau sudah melewati batas kebiasaan, baikpun yang menempel dipakaian kita sendiri atau dipakaian orang lain lalu kita mengenakannya.
Kelima : Darah kudis atau bisul ataupun apa-apa yang terpisah dari padanya, baik yang berupa nanah atau nanah yang bercampur darah. Hal yang sedemikian dapat dibuktikan bahwa Abdullah bin Umar r.a ’anhuma pernah berbisul dimukanya lalu keluarlah darah dari lukanya itu, kemudian ia bersembahyang dan tidak membasuhnya lebih dulu. Termasuk pula dalam hukum ini ialah sesuatu yang memancar dari kotoran-kotoran bisul atau luka-luka yang biasanya terus-menerus keluar, seperti bekas luka-luka karena pembedahan atau operasi, kecuali jikalau terjadinya itu merupakan suatu hal yang jarang, baik berupa luka atau lain-lainnya, maka yang sedemikian itu dapat dipersamakan dengan hukum darah istihadlah (darah yang keluar dari wanita karena menderita sakit). Jadi tidak dapat dimasukan dalam pengertian bisul atau kudis-kudis yang biasanya dalam beberapa hal manusia tidak akan sunyi dari padanya.
Adapun kelonggaran yang diberikan oleh syara' yang berhubungan dengan lima macam najis itu, sebagaimana kita ketahui ialah agar urusan thaharah itu dibuat seringan mungkin. Maka dari itu, segala sesuatu yang dibuat-buat sehingga tampak adanya waswas dalam berbagai hal, itu semata-mata tidak berpokok dan tidak ada sandarannya sama sekali.
Alat penyuci
Alat penyuci itu ada yang berupa benda padat dan ada yang berupa benda cair. Yang berupa benda padat, misalnya ialah batu yang digunakan untuk beristinjak. Ini adalah menyucikan secara pencucian yang ringan, dengan syarat bahwa benda itu hendaklah keras, suci, dapat mengisap serta bukan termasuk yang dimuliakan. Adapun dari golongan alat penyucikan yang berupa benda cair, maka segala macam najis itu tidak dapat disucikan melainkan dengan menggunakan air. Air itupun tidak sembarangan air, tetapi harus yang suci yang tidak menjadi berubah secara nyata karena bercampur dengan sesuatu yang tidak-diperlukan olehnya. Air itu dapat dikeluarkan dari nama air suci, apabila ia menjadi berubah dengan sebab terkena najis dan perubahan itu baikpun yang mengenai rasa, warna atau baunya. Jadi sekiranya dengan terkena najis itu tidak berubah rasa, warna dan baunya, maka tidaklah dianggap najis, sebab berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w.:
"Allah mebuat air suci itu, tidak dapat dinajiskan oleh sesuatuapapun, kecuali kalau sampai mengubah rasa, warna atau baunya".
Diriwayatkan diri Abu Umamah.
Cara menyucikan
Najis itu apabila hukmiah yakni yang tidak berjirim atau berbenda yang dapat diraba, maka untuk menyucikannya cukuplah dengan mengalirkan air keseluruh tempat yang dianggap ada najisnya itu. Adapun kalau berupa najis ’ainiah yakni yang berbenda jelas, maka haruslah dihilangkan bendanya dulu. Mengenai tetapnya warna, maka apabila telah dikucek dan diusahakan sungguh-sungguh hilangnya, tetapi masih tetap tampak, hal itu adalah dimaafkan. Adapun perihal bau, maka jikalau memang sukar dihilangkan dan telah diperas berkali-kali dan berturut-turut, sehingga dapat menyamai kucekan dalam hal warna, maka itupun dapat dimaafkan dan tidak perlu diwaswaskan lagi.
Bagi orang yang suka berwaswas, maka suatu jalan untuk menghilangkan kewaswasannya itu ialah supaya ia mengetahui benar-benar bahwa segala benda itu dijadikan dalam keadaan suci dengan keyakinan yang mantap. Oleh sebab itu sesuatu yang tidak jelas bahwa disitu ada kenajisannya dan tidak diketahuinya dengan keyakinan yang sesungguh-sungguhnya, maka boleh sajalah digunakan untuk bersembahyang.
Halaman: 36 s/d 39
Rahasia-Rahasia Thaharah (Bersuci)
Allah Ta’ala berfirman:
"Tidaklah Allah itu hendak memberikan kesukaran untukmu, tetapi Dia menghedaki hendak membikin kesucian padamu".
(Q.S. Maidah 6).
Juga firmanNya:
"Didalamnya ada orang-orang yang suka sekali bersuci dan Allah mencintai orang-orang yang bersuci itu".
(Q.S. Taubat 108).
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Kunci shalat ialah bersuci".
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi.
Ada pula keterangannya yang berbunyi:
"Didirikannya agama itu atas kebersihan".
Keterangan ini tidak ada asalnya dari hadits.
Orang-orang yang suka berfikir pasti dapat meneliti bahwa dengan adanya perintah bersuci secara lahiriah itu, sebenarnya yang lebih dipentingkan lagi ialah bersuci secara batiniah. Jauh sekali andaikata yang dituju oleh sabda Rasulullah s.a.w. yang berbunyi:
"Bersuci adalah separuh keimanan".
Diriwayatkan oleh Tirmizi dan Muslim.
Itu semata-mata untuk kesucian luarannya saja yakni dengan menyiramkan air di badan dan membersihkan anggota luar belaka, sedang kebatinannya tetap rusak dan dibiarkan penuh dengan kotoran-kotoran yang bersarang dalam hati serta daki-daki karena keburukan kalbu. Jauh sekali kalau yang dimaksudkan itu demikian. Sekali lagi jauh dan tentu tidak demikian.
Thaharah atau bersuci itu mempunyai empat tingkat yaitu:
*Tingkat pertama ialah membersihkan anggota-anggota lahiriah dari hadats, najis-najis atau kotoran serta benda-benda kelebihan yang tidak diperlukan.
*Tingkat kedua ialah membersihkan anggota-anggota badan dari perbuatan dosa dan salah.
*Tingkat ketiga ialah membersihkan hati dari akhlak-akhlak yang tercela dan sifat-sifat kerendahan yang terkutuk.
*Tingkat keempat ialah membersihkan rahasia batiniah dari sesuatu yang selain dari pada Allah Ta’ala dan ini adalah cara thaharahnya para nabi ’alaihimus shalatu wassalam, juga para shiddiqin.
Seseorang hamba itu tidak mungkin akan dapat mencapai tingkat yang tertinggi melainkan lebih dulu harus melalui tingkat yang ada dibawahnya. Jadi tidak dapat mencapai kesucian rahasia batiniah, terhindar dari sifat-sifat yang tercela dan dipenuhi dengan sifat-sifat yang terpuji, selama ia belum mengisi kebatinannya itu lebih dahulu dengan kebersihan hati dengan menjauhi akhlak yang tercela dan melaksanakan akhlak yang terpuji. Untuk mencapai ini, lebih dulu harus mensucikan anggota-anggota badannya dari menjalankan segala macam larangan agama dan mematuhi segala yang menjadi perintahnya. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dituntut, apabila hal itu berupa hal yang mulia dan utama, pastilah akan sukar jalan yang ditempuhnya serta banyak pula perintangnya atau resiko yang dialaminya. Maka jangan disangka bahwa semacam hal diatas itu akan dapat diperoleh semata-mata dengan berangan-angan atau dapat dicapai dengan secara mudah sekali.
Memanglah demikian, sebab seseorang yang buta penglihatannya mengenai selisihnya tingkat-tingkat ini, tentu tidak dapat memahami segala macam tingkat kesucian tadi selain tingkat yang terendah sendiri. Sebenarnya tingkat yang terendah itu bolehlah dikatakan hanya sebagai kulit terakhir yang dapat tampak secara lahiriah apabila dibandingkan dengan isi atau sari yang dicari itu. Oleh karenanya orang yang hanya tertipu dengan kulitnya, maka yang menjadi perhatian utamanya, juga waktu yang banyak digunakannya hanyalah untuk meneliti kebersihan beristinja’ (bercebok), mencuci pakaian, membersihkan mana-mana yang tampak diluar atau mencari air yang mengalir dan banyak, dengan sangkaan bahwa itulah yang lebih penting, malahan disertai dengan kuatnya waswas dan merusakkan akal.
Sebenarnya jikalau cara melakukan thaharah yang dituntut dan yang mulia itu hanya sebagaimana itu saja, maka yang sedemikian itu adalah disebabkan karena kebodohannya pada sejarah orang-orang salaf dahulu, sebab bagi beliau-beliau ini yang lebih diutamakan ialah mensucikan hati dan segenap perhatian serta pemikirannya ditujukan untuk yang batiniah ini. Tentang urusan lahiriah beliau-beliau itu amat mempermudahkan. Sampaipun Umar r.a. yang sudah terkenal betapa tinggi martabatnya itu dikalangan ummat Islam, suka juga berwudlu’ dengan menggunakan air dari kendi milik seorang Nasrani. Orang-orang dahulu itu suka pula bersembahyang diatas tanah dalam masjid dan mencukupkan beristinjak dengan batu saja. Jadi seluruh perhatian beliau-beliau itu lebih-lebih ditujukan pada kebersihan batiniah, malahan tidak ada sebuah keteranganpun yang dikutip dari beliau-beliau itu mengenai persoalan atau pertanyaan perkara najis yang pelik-pelik atau yang diperdalam-dalamkan.
Selanjutnya datanglah giliran golongan yang menamakan sesuatu yang bukan-bukan itu sebagai dasar kebersihan, sehingga sebagian banyak waktunya semata-mata dipergunakan untuk menghias keadaan lahiriahnya saja, sebagaimana perbuatan si wanita tukang sisir terhadap pengantin yang dirawatnya, sedangkan kebatinannya hancur dan rusak benar-benar, penuh terisi dengan kotoran-kotoran dan daki-daki kesombongan, ’ujub (merasa heran pada dirinya sendiri), kebodohan, ria’ (pamer atau menonjol-nonjolkan jasanya), kemunafikan dan lain-lain. Hal-hal yang sedemikian itu tidak diingkarinya sama sekali dan kalbunya tidak teringat sama sekali untuk memperbaikinya. Andaikata ada seorang yang meringkaskan istinjaknya dengan batu atau bersembahyang diatas bumi tanpa menggunakan sajadah yang dibeberkan ataupun berwudlu’ dari wadah milik seorang kafir, maka orang-orang yang bodoh itu segera saja melakukan tindakan menyalahkannya, memperhebatkan keingkarannya dan memberinya gelar suka kotor pada orang tadi. Cobalah diperhatikan, jikalau yang sedemikian itu telah terjadi, bukankah sesuatu yang mungkar itu telah dianggap sebagai kebaikan dan yang baik dianggap sebagai kemungkaran. Jikalau sudah demikian, maka bagaimanakah seseorang itu dapat mengikuti ajaran agamanya sesuai dengan yang tersurat, sebagaimana ia dapat mengikuti hakikat dan ilmiahnya.
Setelah kita mengetahui mukaddimah yang ringkas ini, maka kini kita memperbincangkan masalah tingkat-tingkat thaharah. Lebih dulu kita ambillah tingkat keempat yakni kebersihan lahiriah.
Thaharah secara lahiriah itu terbagi menjadi tiga macam yaitu:
a. Thaharah dari kotoran (benda-benda najis).
b. Tharah dari hadats dan
c. Thaharah dari kelebihan-kelebihan anggota tubuh dan ini dapat dilaksanakan dengan jalan memotong kuku, mandi, menggunakan kapur untuk mencabuti rambut ketiak, kemaluan dan lain-lain lagi.
Halaman: 32 s/d 36
"Tidaklah Allah itu hendak memberikan kesukaran untukmu, tetapi Dia menghedaki hendak membikin kesucian padamu".
(Q.S. Maidah 6).
Juga firmanNya:
"Didalamnya ada orang-orang yang suka sekali bersuci dan Allah mencintai orang-orang yang bersuci itu".
(Q.S. Taubat 108).
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Kunci shalat ialah bersuci".
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi.
Ada pula keterangannya yang berbunyi:
"Didirikannya agama itu atas kebersihan".
Keterangan ini tidak ada asalnya dari hadits.
Orang-orang yang suka berfikir pasti dapat meneliti bahwa dengan adanya perintah bersuci secara lahiriah itu, sebenarnya yang lebih dipentingkan lagi ialah bersuci secara batiniah. Jauh sekali andaikata yang dituju oleh sabda Rasulullah s.a.w. yang berbunyi:
"Bersuci adalah separuh keimanan".
Diriwayatkan oleh Tirmizi dan Muslim.
Itu semata-mata untuk kesucian luarannya saja yakni dengan menyiramkan air di badan dan membersihkan anggota luar belaka, sedang kebatinannya tetap rusak dan dibiarkan penuh dengan kotoran-kotoran yang bersarang dalam hati serta daki-daki karena keburukan kalbu. Jauh sekali kalau yang dimaksudkan itu demikian. Sekali lagi jauh dan tentu tidak demikian.
Thaharah atau bersuci itu mempunyai empat tingkat yaitu:
*Tingkat pertama ialah membersihkan anggota-anggota lahiriah dari hadats, najis-najis atau kotoran serta benda-benda kelebihan yang tidak diperlukan.
*Tingkat kedua ialah membersihkan anggota-anggota badan dari perbuatan dosa dan salah.
*Tingkat ketiga ialah membersihkan hati dari akhlak-akhlak yang tercela dan sifat-sifat kerendahan yang terkutuk.
*Tingkat keempat ialah membersihkan rahasia batiniah dari sesuatu yang selain dari pada Allah Ta’ala dan ini adalah cara thaharahnya para nabi ’alaihimus shalatu wassalam, juga para shiddiqin.
Seseorang hamba itu tidak mungkin akan dapat mencapai tingkat yang tertinggi melainkan lebih dulu harus melalui tingkat yang ada dibawahnya. Jadi tidak dapat mencapai kesucian rahasia batiniah, terhindar dari sifat-sifat yang tercela dan dipenuhi dengan sifat-sifat yang terpuji, selama ia belum mengisi kebatinannya itu lebih dahulu dengan kebersihan hati dengan menjauhi akhlak yang tercela dan melaksanakan akhlak yang terpuji. Untuk mencapai ini, lebih dulu harus mensucikan anggota-anggota badannya dari menjalankan segala macam larangan agama dan mematuhi segala yang menjadi perintahnya. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dituntut, apabila hal itu berupa hal yang mulia dan utama, pastilah akan sukar jalan yang ditempuhnya serta banyak pula perintangnya atau resiko yang dialaminya. Maka jangan disangka bahwa semacam hal diatas itu akan dapat diperoleh semata-mata dengan berangan-angan atau dapat dicapai dengan secara mudah sekali.
Memanglah demikian, sebab seseorang yang buta penglihatannya mengenai selisihnya tingkat-tingkat ini, tentu tidak dapat memahami segala macam tingkat kesucian tadi selain tingkat yang terendah sendiri. Sebenarnya tingkat yang terendah itu bolehlah dikatakan hanya sebagai kulit terakhir yang dapat tampak secara lahiriah apabila dibandingkan dengan isi atau sari yang dicari itu. Oleh karenanya orang yang hanya tertipu dengan kulitnya, maka yang menjadi perhatian utamanya, juga waktu yang banyak digunakannya hanyalah untuk meneliti kebersihan beristinja’ (bercebok), mencuci pakaian, membersihkan mana-mana yang tampak diluar atau mencari air yang mengalir dan banyak, dengan sangkaan bahwa itulah yang lebih penting, malahan disertai dengan kuatnya waswas dan merusakkan akal.
Sebenarnya jikalau cara melakukan thaharah yang dituntut dan yang mulia itu hanya sebagaimana itu saja, maka yang sedemikian itu adalah disebabkan karena kebodohannya pada sejarah orang-orang salaf dahulu, sebab bagi beliau-beliau ini yang lebih diutamakan ialah mensucikan hati dan segenap perhatian serta pemikirannya ditujukan untuk yang batiniah ini. Tentang urusan lahiriah beliau-beliau itu amat mempermudahkan. Sampaipun Umar r.a. yang sudah terkenal betapa tinggi martabatnya itu dikalangan ummat Islam, suka juga berwudlu’ dengan menggunakan air dari kendi milik seorang Nasrani. Orang-orang dahulu itu suka pula bersembahyang diatas tanah dalam masjid dan mencukupkan beristinjak dengan batu saja. Jadi seluruh perhatian beliau-beliau itu lebih-lebih ditujukan pada kebersihan batiniah, malahan tidak ada sebuah keteranganpun yang dikutip dari beliau-beliau itu mengenai persoalan atau pertanyaan perkara najis yang pelik-pelik atau yang diperdalam-dalamkan.
Selanjutnya datanglah giliran golongan yang menamakan sesuatu yang bukan-bukan itu sebagai dasar kebersihan, sehingga sebagian banyak waktunya semata-mata dipergunakan untuk menghias keadaan lahiriahnya saja, sebagaimana perbuatan si wanita tukang sisir terhadap pengantin yang dirawatnya, sedangkan kebatinannya hancur dan rusak benar-benar, penuh terisi dengan kotoran-kotoran dan daki-daki kesombongan, ’ujub (merasa heran pada dirinya sendiri), kebodohan, ria’ (pamer atau menonjol-nonjolkan jasanya), kemunafikan dan lain-lain. Hal-hal yang sedemikian itu tidak diingkarinya sama sekali dan kalbunya tidak teringat sama sekali untuk memperbaikinya. Andaikata ada seorang yang meringkaskan istinjaknya dengan batu atau bersembahyang diatas bumi tanpa menggunakan sajadah yang dibeberkan ataupun berwudlu’ dari wadah milik seorang kafir, maka orang-orang yang bodoh itu segera saja melakukan tindakan menyalahkannya, memperhebatkan keingkarannya dan memberinya gelar suka kotor pada orang tadi. Cobalah diperhatikan, jikalau yang sedemikian itu telah terjadi, bukankah sesuatu yang mungkar itu telah dianggap sebagai kebaikan dan yang baik dianggap sebagai kemungkaran. Jikalau sudah demikian, maka bagaimanakah seseorang itu dapat mengikuti ajaran agamanya sesuai dengan yang tersurat, sebagaimana ia dapat mengikuti hakikat dan ilmiahnya.
Setelah kita mengetahui mukaddimah yang ringkas ini, maka kini kita memperbincangkan masalah tingkat-tingkat thaharah. Lebih dulu kita ambillah tingkat keempat yakni kebersihan lahiriah.
Thaharah secara lahiriah itu terbagi menjadi tiga macam yaitu:
a. Thaharah dari kotoran (benda-benda najis).
b. Tharah dari hadats dan
c. Thaharah dari kelebihan-kelebihan anggota tubuh dan ini dapat dilaksanakan dengan jalan memotong kuku, mandi, menggunakan kapur untuk mencabuti rambut ketiak, kemaluan dan lain-lain lagi.
Halaman: 32 s/d 36
Jumat, 06 Januari 2017
Akidah Ahli Sunnah Wal Jama'ah Tentang Syahadat
Dalam Dua Kalimah Syahadat Yang Merupakan Salah Satu Sendi Islam
Kepercayaan para ahlussunnah mengenai Dzatnya Allah Ta’ala yang Maha Suci ialah bahwa Dia adalah Tuhan yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, Maha Dahulu yang tiada permulaannya, kekal wujudNya yang tiada penghabisan untukNya. Dia adalah Maha Abadi, tiada penghabisannya, Maha Kekal, tiada berkeputusan sama sekali. Dia tidak akan sirna dan tidak akan lenyap, berkesifatan dengan segala macam sifat keagungan. Tidak akan terkena hukum musnah atau terputus sekalipun dengan berlalunya beberapa masa habisnya berbagai-bagai waktu.Bahkan Allah adalah Maha Dahulu dan Maha Akhir. Maha Lahir dan Maha Batin. Dia adalah Maha Mengetahui segala sesuatu. Dia bukanlah merupakan suatu benda yang dapat digambarkan. Dia tidak menyamai apapun yang maujud dan tidak suatu maujudpun yang menyamai sifatNya. Dia tidak dilingkari oleh segenap penjuru dan arah, tidak pula dalam kandungan bumi ataupun langit. Dia "beristiwa' dalam arasy" sebagaimana keadaan yang difirmankannya sendiri dan dengan pengertian yang dikehendakinya sendiri pula. Dia ada diatas ’arasy dan langit, tetapi juga diutus segala sesuatu sampaipun kedasar tanah dan dibalas bumi dan keatasannya itu tidak menambah jarak dekatnya kepada ’arasy atau langit, sebagaimana juga tidak menambah jauhnya dari bumi dan tanah. Bahkan Dia adalah Maha Tinggi derajatnya dari 'arasy dan langit, sebagaimana juga Maha Tinggi derajatnya dari bumi dan tanah. Sekalipun demikian, Dia tetap Maha Dekat dengan segala apa yang wujud, Dia lebih dekat pada hambaNya dari pada hamba itu pada urat lehernya sendiri, sebab kedekatannya itu tidaklah sama halnya dengan pengertian dekatnya segala macam benda, sebagaimana juga Dzatnya itu tidaklah sama dengan dzatnya benda-benda tadi. Dia tidak bertempat disuatu benda dan tidak sesuatu bendapun yang bertempat dalam Dzatnya. Maha Suci Allah dari pada dilingkungi oleh sesuatu tempat, sebagaimana Maha Sucinya dari pada dibatasi oleh masa, bahkan Dia telah ada sebelum mendptakan zaman dan tempat dan sampai sekarang inipun masih tetap dalam keadaan sebagaimana dahulunya itu. Didalam Dzatnya dapatlah Dia diketahui dengan menggunakan akal fikiran, bahkan dapat dikenal pula Dzatnya itu dengan penglihatan nanti diperumahan yang kekal (surga). Hal ini merupakan suatu kenikmatan dari padaNya serta belas kasihan untuk orang-orang yang berbakti padaNya, juga sebagai penyempurnaan kenikmatan yang dikeruniakan olehNya yakni dengan menyaksikan sendiri kepada Wajahnya yang Maha Mulia.
Dia adalah Tuhan yang Maha Luhur, Maha Hidup, Maha Memaksa, Maha Pemberi balasan, yang tidak akan dihinggapi sifat keteledoran serta kelemahan, tidak pula terkena kantuk dan tidur, juga tidak dihinggapi sifat rusak atau mati. Dia adalah Maha Satu dan Sendiri dalam menciptakan dan membuat segala yang baru, Maha Esa dalam mengadakan dan membentuk. Dia adalah Maha Mengetahui segala sesuatu yang dimaklumi, meliputi segala hal atau peristiwa yang terjadi, mulai dari dasar tanah sampai kepuncak langit, tidak terhalang untuk dilihatnya sekalipun seberat debu yang ada di bumi ataupun dilangit Bahkan Dia dapat mengetahui geraknya seekor semut hitam diwaktu malam yang kelam yang berjalan diatas batu licin yang berwarna hitam pula. Dia mengetahui pula bagaimana geraknya sebutir debu ditengah-tengah cakrawala ini. Dia Maha Mengetahui segala yang dirahasiakan atau yang disembunyikan. Diketahuinya pula apa-apa yang terlintas dalam kalbu, apa-apa yang tergerak dalam ingatan ataupun rahasia yang ditutup-tutup. Semuanya itu dimakluminya dengan sifat Ilmunya yang dahulu dan sejak zaman azali. Sifat yang sedemikian ini telah dimiliki olehNya sedari azalinya zaman azali yang dahulu sekali.
Allah adalah Maha Menghendaki pada semua yang maujud ini, Maha Pengatur segala yang terjadi, maka tidak sesuatupun yang berlaku dalam kerajaan dan pemerintahanNya, melainkan semuanya itu pasti dengan sebab sudah ditetapkan dengan qadla’ dan takdirNya, dengan kebijaksanaan dan kemauanNya. Oleh sebab itu, apa saja yang dikehendaki tentu terlaksana dan apa yang tidak dikehendaki tentu tidak dapat terlaksana dan hal ini tidak ada yang dapat menghalang-halangi keputusan yang ditetapkan olehNya. Tidak suatu makhlukpun yang dapat menyalahkan hukumnya.
Allah adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Tidak satupun yang terhalang dari pendengarannya sesuatu yang terdengar, sekalipun amat halusnya, tidak pula satupun yang terhalang dari penglihatannya, sesuatu yang terlihat, sekalipun amat kecilnya. Pendengarannya tidak tertutup karena jauh dan penglihatannya tidak tertolak karena gelap. Pendengaran serta penglihatannya itu tidaklah menyamai dengan pendengaran atau penglihatan yang dimiliki oleh seluruh makhluk, sebagaimana Dzatnya juga tidak menyamai dzatnya makhluk manapun.
Allah adalah Maha Berfirman, pemberi perintah dan larangan, pemberi janji dan ancaman. Al-Qur’an, Taurat, Injil dan Zabur adalah kitab-kitab yang diturunkan olehNya kepada rasul-rasulNya ’alaihimus shalatu wassalam, dengan cara berfirman yang itu adalah merupakan sifat Dzatnya dan bukan merupakan sesuatu makhluk dari sekian banyak macam makhlukNya ini. Bahwasanya Al-Our’an adalah firman Allah yang bukan makhluk, sebab kalau makhluk tentulah akan rusak dan sirna, bukan pula sifat dari makhluk, sebab kalau-demikian tentu punah. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu Maha Esa, tiada sesuatu yang maujud selain Dia, kecuali pasti terjadinya itu dengan perbuatannya juga sebagai luapan dari keadilannya yang terbentuk atas dasar yang sebagus-bagusnya, sesempurna-sempurnanya, selengkap-lengkapnya serta seadil-adilnya.
Dia adalah Tuhan yang Maha Bijaksana dalam segala perbuatannya, Maha Adil dalam segala keputusannya. Maka dari itu semua yang selain Allah, baik yang berupa manusia, jin atau malaikat, yang berupa langit, bumi, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda padat, yang dapat dilihat atau yang dapat dirasakan, semuanya itu adalah benda-benda baru yang diciptakan olehNya dengan kekuasaannya, yakni yang dahulu tidak ada kemudian dijadikan ada, ditumbuhkan dari yang asalnya belum maujud lalu menjadi maujud, sebab sejak zaman azali yang Maha Ada itu hanyalah Allah sendiri dan tidak ada yang lainnya. Maka Allah mengadakan makhluk sesudah itu, sebagai tanda dan bukti kekuasaanNya, juga untuk merealisasikan segala sesuatu yang telah dikehendaki olehNya lebih dahulu, juga karena sebagai kebenaran kalimatNya dizaman azali itu. Segala sesuatunya itu diciptakan, bukan sebab Allah membutuhkan atau berhajat padanya. Dia memberikan keutamaan pada makhluk dengan menciptakan serta membebaninya, ini bukannya sebab Allah berkewajiban demikian. Juga Allah senantiasa mengeruniai kenikmatan dan kebaikan dan ini bukan keharusan Allah untuk berbuat demikian itu. Bagi Allah adalah keutamaan dan kebaikan, kenikmatan dan kerunia.
Allah ’azza wa jalla memberi pahala kepada hamba-hambaNya yang mukmin sebab kebaktiannya dan pemberian pahala ini adalah atas dasar kedermawanan, kemuliaan dan telah dijanjikan, bukan sekali-kali karena dasar Allah berkewajiban melakukan hal itu, sebab tidak ada seorangpun yang dapat mewajibkan sesuatu padaNya itu untuk dilakukan dan tidak tergambar sedikitpun suatu penganiayaan yang datang dari padaNya. Demikian pula tidak ada suatu hakpun yang merupakan kewajiban untukNya terhadap seseorang, sebab hakNya untuk ditaati adalah merupakan kewajiban atas segenap makhluk. Kewajiban ini disampaikan dengan penjelasan para nabiNya ’alaihimus salam, bukan hanya sekedar dengan kemauan akal fikiran belaka. Untuk urusan ini, Allah sengaja mengutus para rasul dan ditampakkan bukti kebenaran mereka dengan memberikan berbagai macam mu’jizat yang nyata. Para rasul itulah yang menyampaikan pada ummatnya apa apa yang menjadi perintah Allah, laranganNya, janji serta ancamanNya. Oleh karena itu, semua makhluk wajib membenarkan apa saja yang mereka bawa dan mereka ketengahkan itu.
Bahwasanya Allah Ta’ala telah mengutus seorang nabi yang ummi, tidak pandai membaca dan menulis, dari keturunan Ouraisy, yakni Muhammad s.a.w. dengan membawa risalah Tuhan kepada seluruh ummat dari golongan bangsa Arab ataupun lainnya, dari golongan bangsa jin dan manusia. Allah telah menutup kerasulan dan kenabian itu dengan mengutus beliau s.a.w. itu. Jadi beliau s.a.w. adalah rasul yang terakhir sekali, sebagai seorang pemberi kabar gembir'a dan menakutkan, pengajak kejalan dan agama Allah dengan izinNya dan juga sebagai pelita yang memberi cahaya. Allah menurunkan kitab suci yang penuh hikmat itu kepada rasulNya yang terakhir itu, dengan kitab itulah Allah menjelaskan agamaNya yang lurus, menunjukkan jalannya yang lurus dan mewajibkan segenap makhluknya untuk mempercayai segala isi berita yang termuat didalamnya.
Ahlussunnah mempercayai pula bahwasanya hari kiamat itu pasti datang dan tiada perlu dibimbangkan lagi dan bahwasanya Allah akan menghidupkan segala sesuatu yang telah mati pada hari itu dan semuanya akan kembali sebagaimana keadaannya semula. Allah telah membuat surga lalu disediakan sebagai perumahan kekal untuk segala orang yang dikasihinya dan mereka ini nanti akan diberi kemuliaan didalam surga itu dengan kerunia yang terbesar yakni dapat melihat kepada wajahnya yang Maha Mulia. Selain itu Allah juga membuat neraka lalu disediakan sebagai perumahan kekal untuk orang yang kafir kepadaNya, bersikap melawan serta membantah ayat-ayatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan golongan orang yang sedemikian ini tertutup dari kerunia dapat melihat wajahNya yang Maha Mulia itu. *1)
*1) Sampai disini uraian Imam Al-Ghazali dan keterangan yang sesudahnya ini diambil dari kitab Al-Ibanah oleh Imam Al-Asy’ari.
Kita semua tidak boleh mengkafirkan seseorangpun dari golongan ahli kiblat (orang yang beragama Islam) karena kita melihatnya ia berbuat dosa semacam berzina, mencuri atau minum arak. Juga tidak boleh kita menempatkan seseorang baik dari golongan ahli tauhid atau yang berpegang teguh pada keimanan, bahwa ia akan naik surga atau masuk neraka, kecuali jikalau oleh Rasulullah s.a.w. benar-benar telah dijelaskan bahwa ia pasti dimasukkan surga. Kita hendaknya mendo’akan orang-orang yang berdosa itu, semoga merekapun dapat surga pula, kita takut dan kasihan sekiranya mereka itu akan disiksa dalam neraka. Kita boleh mengatakan bahwasanya Allah ’azza wa jalla nanti akan mengeluarkan beberapa orang dari neraka sesudah mereka itu hangus terbakar, yakni dengan syafa’atnya Rasulullah s.a.w. Hal ini untuk membenarkan berbagai riwayat yang dijelaskan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. Kitapun beriman kepada siksa kubur dan bahwasanya Allah akan menghentikan segenap hambaNya disuatu tempat perhentian (mahsyar) lalu memperhitungkan amalan orang-orang mukmin dan lain-lain. Kita hendaknya mencintai kaum salaf, sebab mereka telah dipilih oleh Allah ’azza wa jalla untuk menjadi sahabat Nabi s.aw. Kita hendaknya memuji kepada beliau-beliau itu sebagaimana Allah memujinya dan kitapun hendaklah mencintai beliau-beliau itu seluruhnya.
Kita harus mengatakan bahwa pemimpin yang termulia sesudah Rasulullah s.a.w. ialah Abu Bakar Ash-shiddiq r.a. dan bahwasanya Allah Ta’ala telah memuliakan agama ini dengannya, mengunggulkannya dari orang-orang yang murtad. Abu Bakar r.a. dikemukakan oleh seluruh ummat Islam dalam jabatan kepemimpinan, sebagaimana Rasulullah s.a. w. sendiri mengemukakannya untuk menjadi imam dalam shalat diwaktu s.aw. sakit. Kaum muslimin menamakannya khalifah atau pengganti Rasulullah s.a.w., kemudian Umar bin Chaththab r.a. dan selanjutnya Utsman bin ’Affan r.a. Sesungguhnya orang-orang yang membunuh Utsman r.a. itu adalah atas dasar penganiayaan dan kedurhakaan. Setelah wafatnya, maka yang menjadi khalifah adalah Ali bin Abu Thalib r.a. Keempat khalifah itulah yang benar-benar merupakan imam-imam sepeninggal Rasulullah s.a.w. dan kekhilafahan beliau-beliau adalah merupakan pengganti kenubuwatan. Kitapun mencintai sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. yang lain-lain dan tidak perlu kiranya kita mengutik-ngutik perselisihan-perselisinan yang pernah timbul antara beliau-beliau itu. Selain itu segala sesuatu yang kita perselisihkan wajiblah kita kembalikan dan kita selidiki sesuai dengan kitabullah Al-Qur’an, sunnah Rasulullah s.a.w., juga ijma’ atau persepakatan kaum muslimin serta yang semakna dengan itu. Kita tidak boleh mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kita yakni hal-hal yang kita tidak diizinkan untuk mengadakannya, juga tidak boleh mengucapkan atas nama Allah itu sesuatu yang kita tidak mengetahui. Kita juga mengetahui bahwa bersedekah untuk kaum muslimin yang telah meninggal dunia ataupun mendo’akan kepada mereka itu adalah bermanfaat sekali, dan bahwasanya Allah akan memberikan kemanfaatan kepada mereka itu dengan sebab sedekah atau do’a yang kita lakukan itu *2). Kita dapat pula mengatakan bahwa kaum Shalihin dapat memperoleh kekhususiatan dari Allah Ta’ala dengan tanda-tanda yang diperlihatkan olehNya untuk beliau-beliau itu.
*2). Dalam kitab Al-Iqna’ dan syarahnya yang dari golongan kitab-kitab madzhab Imam Ahmad bin Hanbal — disebutkan demikian: "Semua peribadatan yang dilakukan oleh seseorang muslim dan dimaksudkan agar pahalanya diberikan kepada seseorang muslim lain, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia, maka hukumnya adalah boleh (jawaz), bahkan kelakuan itupun dapat memberikan kemanfaatan kepada yang dituju itu, sebab berhasillah pahala itu untuknya, sampaipun untuk Rasulullah s.a.w.. Peribadatan yang dimaksudkan diatas itu, baik pun berupa kelakuan yang sunnah ataupun yang wajib yang dimaksudkan sebagai pergantian semacam kaji atau puasa yang dinazarkan ataupun yang selain itu seperti bersembahyang, berdo’a, beristighfar, bersedekah, memerdekakan budak, berkorban, menunaikan hutang atau puasa, demikian pula yang berupa bacaan dan lain-lainnya".
Imam Ahmad berkata: "Segala sesuatu yang berupa kebaikan itu dapat sampai kepada orang yang telah mati, dengan berdasarkan beberapa nash yang ada mengenai hal itu, juga dengan sebab seluruh kaum muslimin disemua negeri telah menyepakatinya. Mereka itu membaca sesuatu lalu mereka hadiahkan kepada saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia. Yang sedemikian ini tidak ada yang mengingkari, maka bolehlah dianggap sebagai ijma.
Halaman: 25 s/d 31
Ilmu Pengetahuan - Ilmu Yang Fardlu 'Ain
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Mencari ilmu pengetahuan adalah kewajiban atas setiap orang Islam".
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdilbarr.
Termasuk ilmu yang dihukumi fardlu ’ain dalam mencarinya itu ialah segala macam ilmu pengetahuan yang dengannya dapat digunakan untuk bertauhid kepada Allah secara benar, untuk mengetahui Dzat serta Sifat-sifatNya, juga ilmu pengetahuan yang dengannya dapat diketahui bagaimana cara beribadat yang sebenar-benarnya, lagi pula untuk mengetahui mana yang halal dan mana yang haram juga apa-apa yang diharamkan dalam bermu’amalat dan apa-apa yang dihalalkan.
Selain itu termasuk pula dalam hukum fardlu ’ain mencari ilmu yang dapat digunakan untuk mengetahui hal-ihwal hati, mana-mana yang terpuji seperti bersabar, bersyukur, dermawan, berbudi baik, bergaul dengan baik, benar dalam segala hal, berhati ikhlas dan pula mana-mana yang tercela seperti mengkal, dengki iri hati, menipu, sombong, pamer (menunjuk-nunjukkan kebaikan diri), marah-marah, benci, berseteru, dan kikir. Oleh sebab itu mengetahui sifat-sifat yang harus dilakukan sebagaimana yang pertama dan sifat-sifat yang harus dijauhi sebagaimana yang kedua, semuanya itu hukumnya fardlu 'ain. Jadi sama halnya dengan belajar ilmu-ilmu untuk memperoleh kebenaran dalam ’akidah (kepercayaan), dalam beribadat dan dalam bermu’amalat.
Halaman: 23 s/d 24
"Mencari ilmu pengetahuan adalah kewajiban atas setiap orang Islam".
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdilbarr.
Termasuk ilmu yang dihukumi fardlu ’ain dalam mencarinya itu ialah segala macam ilmu pengetahuan yang dengannya dapat digunakan untuk bertauhid kepada Allah secara benar, untuk mengetahui Dzat serta Sifat-sifatNya, juga ilmu pengetahuan yang dengannya dapat diketahui bagaimana cara beribadat yang sebenar-benarnya, lagi pula untuk mengetahui mana yang halal dan mana yang haram juga apa-apa yang diharamkan dalam bermu’amalat dan apa-apa yang dihalalkan.
Selain itu termasuk pula dalam hukum fardlu ’ain mencari ilmu yang dapat digunakan untuk mengetahui hal-ihwal hati, mana-mana yang terpuji seperti bersabar, bersyukur, dermawan, berbudi baik, bergaul dengan baik, benar dalam segala hal, berhati ikhlas dan pula mana-mana yang tercela seperti mengkal, dengki iri hati, menipu, sombong, pamer (menunjuk-nunjukkan kebaikan diri), marah-marah, benci, berseteru, dan kikir. Oleh sebab itu mengetahui sifat-sifat yang harus dilakukan sebagaimana yang pertama dan sifat-sifat yang harus dijauhi sebagaimana yang kedua, semuanya itu hukumnya fardlu 'ain. Jadi sama halnya dengan belajar ilmu-ilmu untuk memperoleh kebenaran dalam ’akidah (kepercayaan), dalam beribadat dan dalam bermu’amalat.
Halaman: 23 s/d 24
Kamis, 05 Januari 2017
Ilmu Pengetahuan - Keutamaan Mengajar
Ayat-ayat yang bersangkutan dengan keutamaan mengajar itu ialah firman Allah ’azza wa jalla:
"Hendaklah mereka itu memberi peringatan kepada kaumnya (setelah belajar ilmu keagamaan), yakni diwaktu mereka telah kembali ke tempat kaumnya tadi. Barangkali kaumnya itu menjadi hati-hati karenanya".
(Q.S. Taubah 122).
Yang dimaksud dengan memberi peringatan dalam ayat diatas itu ialah memberikan pelajaran dan petunjuk ke jalan yang baik.
Allah Ta’ala berfirman pula:
"Dan diwaktu Allah telah mengambil janji orang-orang yang diberi kitab suci, yaitu: "Haruslah kamu semua menerang-nerangkan itu kepada seluruh manusia dan jangan kamu menyimpan-nyimpan isinya".
(Q.S. Al 'Imran 187).
Ayat diatas menjelaskan dengan seterang-terangnya akan kewajiban mangajar atau memberi pelajaran.
Lagi firmannya:
"Ada sebagian golongan dari mereka yang menyembunyikan kebenaran, padahal mereka itu mengetahui".
(Q.S. Baqarah 146).
Ayat diatas adalah kebalikan yang sebelumnya yakni haramnya menyembunyikan ilmu pengetahuan atau enggan mengajarkannya.
Sebagaimana juga Allah Ta’ala berfirman dalam hal kesaksian:
"Barangsiapa yang menyembunyikan penyaksian itu, maka berdosalah hatinya".
(Q.S. Baqarah 283).
Allah Ta’ala berfirman lagi:
"Siapakah orang yang lebih baik ucapannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah dan berbuat kebaikan?".
(Q.S. Fushilat 32).
Juga firmannya:
"Ajaklah mereka itu kejalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan nasihat yang baik".
Dan firmannya pula:
"Dan mengajarkan kepada mereka itu kitab dan kebijaksanaan".
(Q.S. Baqarah 151).
Adapun hadits-hadits yang menerangkan perihal diatas itu diantaranya ialah sewaktu Rasulullah s.a.w. mengirimkan Mu’adz ke Yaman, lalu bersabda:
"Niscayalah andaikata Allah memberi hidayah seseorang sebagai hasil usahamu, maka hal itu adalah lebih baik bagimu dari pada seluruh dunia dan seisinya ini".
Diriwayatkan oleh Ahmad. Imam-Imam Buchari dan Muslim juga meriwayatkan hadits diatas, tetapi waktu itu beliau s.a.w. menyabdakannya kepada Ali r.a.
Rasulullah s.a.w. bersabda pula:
"Barangsiapa yang mengetahui sesuatu ilmu, kemudian menyembunyikannya (tidak suka mengajarkannya), maka oleh Allah ia akan diberi kendali pada hari kiamat nanti dengan kendali dari api neraka".
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan lain-lain.
Juga sabdanya:
"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa T a’ala, juga malaikat serta para penghuni langit dan bumi, sampai-sampai semut yang didalam lubangnya dan ikan hiu yang ada di lautan, semuanya memohonkan rahmat bagi orang yang mengajarkan kebaikan pada orang banyak".
Diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Beliau s.a.w. bersabda lagi:
"Apabila seseorang anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalannya, melainkan dari tiga hal, yaitu sedekah yang mengalir (jariah), ilmu yang diambil manfa'atnya dan anak shalih yang mendo’akan untuknya".
Diriwayatkan oleh Muslim.
Sabdanya lagi:
"Pemberi petunjuk kepada kebaikan adalah sama dengan yang mengerjakannya (perihal pahalanya)".
Diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Ada lagi sabdanya:
"Rahmat Allah bagi seluruh pengganti-penggantiku". Beliau s.a.w. ditanya: "Siapakah pengganti-pengganti Tuan itu?". Beliau s.a.w. lalu bersabda: "Mereka itu ialah orang-orang yang menghidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada hamba-hamba Allah".
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdilbarr.
Perihal keterangan-keterangan dari para sahabat yang berhubungan dengan persoalan diatas, diantaranya ialah ucapan Mu’adz demikian:
"Belajarlah ilmu pengetahuan, sebab belajarnya itu dengan karena Allah merupakan tanda taqwa padaNya, mencarinya merupakan ibadat, menelaahnya sebagai bertasbih (memahasucikan Tuhan), menyelidiknya adalah sebagai jihad, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya sebagai sedekah, menyampaikannya kepada ahlinya adalah kebaktian.
Ilmu pengetahuan adalah kawan diwaktu sendirian, sahabat diwaktu sunyi, penunjuk jalan kepada agama, pendorong ketabahan disaat dalam kekurangan dan kesukaran.
Allah meninggikan pangkat sesuatu kaum karena ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Kemudian Allah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin, penghulu dan pembina-bing yang diikuti petunjuknya; mereka juga sebagai penunjuk kejalan kebaikan, sepak terjangnya dicontoh, kelakuannya ditiru dan diteladani.
Dengan ilmu pengetahuan pulalah seseorang hamba itu dapat mehduduki tempat orang-orang yang berbakti dan pangkat-pangkat yang tinggi.
Memikirkan ilmu adalah sama pahalanya dengan berpuasa, menelaahnya sama dengan bangun shalat malam. Dengan menggunakan ilmulah akan menjadi benar cara berbakti kepada Allah ’azza wa jalla, dengannya Allah dipuja dan disembah, dengannya pula Dia di maha Esakan dan diagung-agungkan, dengannya seseorang menjadi wara’ dan sangat taqwa, pada Allah, dengannya dieratkan tali persaudaraan dan dengannya dapat diketahuinya apa-apa yang halal dan yang haram.
Ilmu pengetahuan adalah pemimpin segala amalan dan amalan itu hanyalah sebagai pengikutnya belaka. Yang diilhami dan dikeruniai ilmu adalah benar-benar orang yang berbahagia dan yang terhalang atau tidak diberi ilmu adalah benar-benar celaka".
Alhasan rahimahullah berkata: "Andaikata tidak ada para alim ulama, pastilah manusia seluruhnya akan menjadi sebagai binatang".
Maksudnya ialah bahwa dengan sebab adanya pelajaran yang mereka berikan itu, lalu seluruh manusia dapat keluar dari batas pengertian kebinatangan dan memasuki batas kemanusiaan.
Halaman: 19 s/d 23
"Hendaklah mereka itu memberi peringatan kepada kaumnya (setelah belajar ilmu keagamaan), yakni diwaktu mereka telah kembali ke tempat kaumnya tadi. Barangkali kaumnya itu menjadi hati-hati karenanya".
(Q.S. Taubah 122).
Yang dimaksud dengan memberi peringatan dalam ayat diatas itu ialah memberikan pelajaran dan petunjuk ke jalan yang baik.
Allah Ta’ala berfirman pula:
"Dan diwaktu Allah telah mengambil janji orang-orang yang diberi kitab suci, yaitu: "Haruslah kamu semua menerang-nerangkan itu kepada seluruh manusia dan jangan kamu menyimpan-nyimpan isinya".
(Q.S. Al 'Imran 187).
Ayat diatas menjelaskan dengan seterang-terangnya akan kewajiban mangajar atau memberi pelajaran.
Lagi firmannya:
"Ada sebagian golongan dari mereka yang menyembunyikan kebenaran, padahal mereka itu mengetahui".
(Q.S. Baqarah 146).
Ayat diatas adalah kebalikan yang sebelumnya yakni haramnya menyembunyikan ilmu pengetahuan atau enggan mengajarkannya.
Sebagaimana juga Allah Ta’ala berfirman dalam hal kesaksian:
"Barangsiapa yang menyembunyikan penyaksian itu, maka berdosalah hatinya".
(Q.S. Baqarah 283).
Allah Ta’ala berfirman lagi:
"Siapakah orang yang lebih baik ucapannya dari pada orang yang menyeru kepada Allah dan berbuat kebaikan?".
(Q.S. Fushilat 32).
Juga firmannya:
"Ajaklah mereka itu kejalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan nasihat yang baik".
Dan firmannya pula:
"Dan mengajarkan kepada mereka itu kitab dan kebijaksanaan".
(Q.S. Baqarah 151).
Adapun hadits-hadits yang menerangkan perihal diatas itu diantaranya ialah sewaktu Rasulullah s.a.w. mengirimkan Mu’adz ke Yaman, lalu bersabda:
"Niscayalah andaikata Allah memberi hidayah seseorang sebagai hasil usahamu, maka hal itu adalah lebih baik bagimu dari pada seluruh dunia dan seisinya ini".
Diriwayatkan oleh Ahmad. Imam-Imam Buchari dan Muslim juga meriwayatkan hadits diatas, tetapi waktu itu beliau s.a.w. menyabdakannya kepada Ali r.a.
Rasulullah s.a.w. bersabda pula:
"Barangsiapa yang mengetahui sesuatu ilmu, kemudian menyembunyikannya (tidak suka mengajarkannya), maka oleh Allah ia akan diberi kendali pada hari kiamat nanti dengan kendali dari api neraka".
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan lain-lain.
Juga sabdanya:
"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa T a’ala, juga malaikat serta para penghuni langit dan bumi, sampai-sampai semut yang didalam lubangnya dan ikan hiu yang ada di lautan, semuanya memohonkan rahmat bagi orang yang mengajarkan kebaikan pada orang banyak".
Diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Beliau s.a.w. bersabda lagi:
"Apabila seseorang anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalannya, melainkan dari tiga hal, yaitu sedekah yang mengalir (jariah), ilmu yang diambil manfa'atnya dan anak shalih yang mendo’akan untuknya".
Diriwayatkan oleh Muslim.
Sabdanya lagi:
"Pemberi petunjuk kepada kebaikan adalah sama dengan yang mengerjakannya (perihal pahalanya)".
Diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Ada lagi sabdanya:
"Rahmat Allah bagi seluruh pengganti-penggantiku". Beliau s.a.w. ditanya: "Siapakah pengganti-pengganti Tuan itu?". Beliau s.a.w. lalu bersabda: "Mereka itu ialah orang-orang yang menghidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada hamba-hamba Allah".
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdilbarr.
Perihal keterangan-keterangan dari para sahabat yang berhubungan dengan persoalan diatas, diantaranya ialah ucapan Mu’adz demikian:
"Belajarlah ilmu pengetahuan, sebab belajarnya itu dengan karena Allah merupakan tanda taqwa padaNya, mencarinya merupakan ibadat, menelaahnya sebagai bertasbih (memahasucikan Tuhan), menyelidiknya adalah sebagai jihad, mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya sebagai sedekah, menyampaikannya kepada ahlinya adalah kebaktian.
Ilmu pengetahuan adalah kawan diwaktu sendirian, sahabat diwaktu sunyi, penunjuk jalan kepada agama, pendorong ketabahan disaat dalam kekurangan dan kesukaran.
Allah meninggikan pangkat sesuatu kaum karena ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Kemudian Allah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin, penghulu dan pembina-bing yang diikuti petunjuknya; mereka juga sebagai penunjuk kejalan kebaikan, sepak terjangnya dicontoh, kelakuannya ditiru dan diteladani.
Dengan ilmu pengetahuan pulalah seseorang hamba itu dapat mehduduki tempat orang-orang yang berbakti dan pangkat-pangkat yang tinggi.
Memikirkan ilmu adalah sama pahalanya dengan berpuasa, menelaahnya sama dengan bangun shalat malam. Dengan menggunakan ilmulah akan menjadi benar cara berbakti kepada Allah ’azza wa jalla, dengannya Allah dipuja dan disembah, dengannya pula Dia di maha Esakan dan diagung-agungkan, dengannya seseorang menjadi wara’ dan sangat taqwa, pada Allah, dengannya dieratkan tali persaudaraan dan dengannya dapat diketahuinya apa-apa yang halal dan yang haram.
Ilmu pengetahuan adalah pemimpin segala amalan dan amalan itu hanyalah sebagai pengikutnya belaka. Yang diilhami dan dikeruniai ilmu adalah benar-benar orang yang berbahagia dan yang terhalang atau tidak diberi ilmu adalah benar-benar celaka".
Alhasan rahimahullah berkata: "Andaikata tidak ada para alim ulama, pastilah manusia seluruhnya akan menjadi sebagai binatang".
Maksudnya ialah bahwa dengan sebab adanya pelajaran yang mereka berikan itu, lalu seluruh manusia dapat keluar dari batas pengertian kebinatangan dan memasuki batas kemanusiaan.
Halaman: 19 s/d 23
Ilmu Pengetahuan - Keutamaan Belajar
Ayat-ayat yang berhubungan dengan keutamaan belajar itu, diantaranya ialah firman Allah Ta’ala:
"Mengapa tidak ada sekelompokpun dari setiap golongan mereka itu yang berangkat untuk mencari pengertian dalam ilmu keagamaan".
(Q.S. Taubat 122).
Ada lagi firmannya, yaitu:
"Maka tanyalah para ahli ilmu pengetahuan, apabila kamu semua tidak mengerti".
(Q.S. Nahl 43).
Adapun hadits-hadits yang menerangkan itu ialah:
"Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mancari ilmu pengetahuan, maka dengan sebab kelakuannya itu Allah akan menempuhkan suatu jalan untuknya guna menuju kesurga".
Diriwayatkan oleh Muslim.
Beliau s.a.w. bersabda pula:
"Niscayalah andaikata engkau berangkat kemudian engkau belajar satu bab dari ilmu pengetahuan, maka hal itu adalah lebih baik dari pada kamu bersembahyang seratus raka’at".
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdilbarr.
Beliau s.a.w. bersabda pula:
"Mencari ilmu pengetahuan adalah wajib atas setiap orang muslim".
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdilbarr.
Rasulullah s.a.w. bersabda pula:
Abuddarda’ berkata: "Niscayalah andaikata saya belajar sesuatu masalah, maka hal itu adalah lebih saya cintai dari pada sekali bangun shalat malam".
Ia berkata pula: "Pengajar dan yang belajar itu bersekutu dalam memperoleh kebaikan, sedang manusia-manusia yang selain kedua golongan itu semuanya adalah kosong yang tiada kebaikannya sama sekali".
Imam Syafi’i berkata: "Mencari ilmu itu lebih utama dari pada mengerjakan Sunnah".
Fatah Almaushili rahimahullah berkata: "Bukankah seseorang yang sakit itu apabila sudah enggan makan dan minum dan enggan pula menelan obat, akhirnya tentu mati". Kawan-kawannya menjawab: "Ya benar". Ia kemudian berkata lagi: "Demikian pula hati, apabila enggan kepada hikmat dan ilmu selama tiga hari, pasti, ia mati pula".
Tepat sekali ucapan Fatah Almaushili itu, sebab makanan hati adalah hikmat dan ilmu pengetahuan dan dengan kedua benda itulah ia dapat hidup, sebagaimana halnya dengan tubuh. Makanan adalah umpan tubuh. Jadi seseorang yang sunyi dari ilmu, maka hatinya boleh dinamakan sakit dan kematiannya sudah dapat dipastikan. Tetapi orangnya itu sendiri tentu tidak merasa dan tidak menginsafi hal yang sedemikian ini, sebab kecintaannya kepada keduniaan dan kegiatannya untuk mencari harta dunia itulah yang menyebabkan ia kehilangan perasaan semacam itu. Kita mohon perlindungan kepada Allah dari pada suatu hari yang segala tabir akan disingkapkan, seluruh manusia tertidur dan kalau sudah mati akan bangun.
Ibnu Mas’ud r.a. berkata: "Hendaklah kamu semua mengusahakan ilmu pengetahuan itu sebelum ia dilenyapkan. Lenyapnya ilmu pengetahuan ialah dengan matinya orang-orang yang memberikan atau yang mengajarkannya. Seseorang itu tidaklah akan dilahirkan dan sudah menjadi pandai. Jadi ilmu pengetahuan itu pastilah harus diusahakan dengan belajar".
Halaman: 17 s/d 19
"Mengapa tidak ada sekelompokpun dari setiap golongan mereka itu yang berangkat untuk mencari pengertian dalam ilmu keagamaan".
(Q.S. Taubat 122).
Ada lagi firmannya, yaitu:
"Maka tanyalah para ahli ilmu pengetahuan, apabila kamu semua tidak mengerti".
(Q.S. Nahl 43).
Adapun hadits-hadits yang menerangkan itu ialah:
"Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mancari ilmu pengetahuan, maka dengan sebab kelakuannya itu Allah akan menempuhkan suatu jalan untuknya guna menuju kesurga".
Diriwayatkan oleh Muslim.
Beliau s.a.w. bersabda pula:
"Niscayalah andaikata engkau berangkat kemudian engkau belajar satu bab dari ilmu pengetahuan, maka hal itu adalah lebih baik dari pada kamu bersembahyang seratus raka’at".
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdilbarr.
Beliau s.a.w. bersabda pula:
"Mencari ilmu pengetahuan adalah wajib atas setiap orang muslim".
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdilbarr.
Rasulullah s.a.w. bersabda pula:
Abuddarda’ berkata: "Niscayalah andaikata saya belajar sesuatu masalah, maka hal itu adalah lebih saya cintai dari pada sekali bangun shalat malam".
Ia berkata pula: "Pengajar dan yang belajar itu bersekutu dalam memperoleh kebaikan, sedang manusia-manusia yang selain kedua golongan itu semuanya adalah kosong yang tiada kebaikannya sama sekali".
Imam Syafi’i berkata: "Mencari ilmu itu lebih utama dari pada mengerjakan Sunnah".
Fatah Almaushili rahimahullah berkata: "Bukankah seseorang yang sakit itu apabila sudah enggan makan dan minum dan enggan pula menelan obat, akhirnya tentu mati". Kawan-kawannya menjawab: "Ya benar". Ia kemudian berkata lagi: "Demikian pula hati, apabila enggan kepada hikmat dan ilmu selama tiga hari, pasti, ia mati pula".
Tepat sekali ucapan Fatah Almaushili itu, sebab makanan hati adalah hikmat dan ilmu pengetahuan dan dengan kedua benda itulah ia dapat hidup, sebagaimana halnya dengan tubuh. Makanan adalah umpan tubuh. Jadi seseorang yang sunyi dari ilmu, maka hatinya boleh dinamakan sakit dan kematiannya sudah dapat dipastikan. Tetapi orangnya itu sendiri tentu tidak merasa dan tidak menginsafi hal yang sedemikian ini, sebab kecintaannya kepada keduniaan dan kegiatannya untuk mencari harta dunia itulah yang menyebabkan ia kehilangan perasaan semacam itu. Kita mohon perlindungan kepada Allah dari pada suatu hari yang segala tabir akan disingkapkan, seluruh manusia tertidur dan kalau sudah mati akan bangun.
Ibnu Mas’ud r.a. berkata: "Hendaklah kamu semua mengusahakan ilmu pengetahuan itu sebelum ia dilenyapkan. Lenyapnya ilmu pengetahuan ialah dengan matinya orang-orang yang memberikan atau yang mengajarkannya. Seseorang itu tidaklah akan dilahirkan dan sudah menjadi pandai. Jadi ilmu pengetahuan itu pastilah harus diusahakan dengan belajar".
Halaman: 17 s/d 19
Ilmu Pengetahuan - Keutamaan Ilmu Pengetahuan
Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menerangkan bukti-bukti mengenai hal keutamaan ilmu pengetahuan. Diantaranya ialah firman Allah ’azza wa jalla:
"Allah sudah menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Dia sendiri, juga malaikat dan orang-orang yang berilmu pengetahuan menyaksikan yang sedemikian itu, bahkan Allah itu Maha Berdiri Sendiri dengan adil".
(Q.S. Ali ’Imran 18).
Perhatikanlah ayat diatas, bukankah untuk kesaksian itu dimulainya dengan Dirinya sendiri, menomor duakan golongan malaikat, sedang sebagai nomor tiganya ialah orang-orang yang berilmu pengetahuan. Ini saja sudah cukup sebagai hal yang menunjukkan kemuliaan dan keutamaan mereka itu.
Allah berfirman pula:
"Allah mengangkat orang-orang yang beriman dari golonganmu semua dan juga orang-orang yang dikerunlai ilmu hingga beberapa derajat".
(Q.S. Mujadalah 11).
Juga firman Allah ’azza wa jalla:
"Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang berilmu pengetahuan dan orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan".
(Q.S. Zumar 9).
Demikian pula firman Allah Ta’ala:
"Hanyasanya yang takut kepada Allah dari golongan hamba-hambaNya itu adalah orang-orang yang berilmu pengetahuan".
(Q.S. Fathir 28).
Allah Ta’ala berfirman lagi:
"Andaikata mereka mengembalikan berita itu kepada Rasul, juga kepada orarig-orang yang memegang pemerintahan, pastilah berita itu sudah dimengerti kenyataannya oleh orang-orang yang benar-benar meneliti hal yang sedemikian tadi dari golongan mereka itu sendiri". (Q.S. Nisa 83).
Jadi mengenai hukumnya dalam segala kejadian yang berlangsung, senantiasa dikembalikan kepada orang-orang yang berilmu pengetahuan itu, bahkan martabat mereka itu disusulkan setingkat kemudian sesudah martabat para nabi dalam mengkasyafkan hukum Allah Ta’ala.
Adapun hadits-haditsnya yang berkenaan dengan keutamaan ilmu pengetahuan itu, diantaranya ialah sabda Rasulullah s.a.w.:
"Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia dipintarkan dalam hal keagamaan dan diilhami olehNya kepandaian dalam hal itu?".
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan tambahan kata-kata "diilhami olehNya kepandaian" itu diriwayatkan oleh Thabrani.
Juga sabda beliau s.a,w.:
"Para alim ulama adalah pewaris para nabi".
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban.
Sudah jelaslah bahwa tiada, lagi pangkat yang lebih tinggi diatas pangkat kenabian itu dan tiada kemuliaan yang lebih tinggi diatas pangkat sebagai pewaris beliau-beliau itu.
Rasulullah s.a.w. bersabda pula:
"Apabila aku didatangi oleh sesuatu hari dan aku tidak bertambah ilmuku pada hari itu yang dapat mendekatkan diriku kepada Allah ’azza wa jalla, maka tidak ada keberkahan untukku dalam terbitnya matahari pada hari itu".
Diriwayatkan oleh Thabrani, Abu Nua’im dan Ibnu Abdilbar.
Dalam menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan itu lebih utama dari pada ibadat dan penyaksian, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Keutamaan seorang alim diatas seorang ’abid (orang yang beribadat) sebagaimana keutamaanku diatas serendah-rendah orang dari golongan sahabat-sahabatku".
Diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Cobalah perhatikan dengan seksama, betapa nilainya ilmu pengetahuan itu sehingga dipersamakan seiring dengan derajat kenabian dan betapa pula kerendahannya sesuatu amalan yang sunyi dari ilmu pengetahuan, sekalipun yang beramal ibadat itu tentunya tidak terlepas dari pengetahuan cara beribadat yang senantiasa dikekalkan mengerjakannya, sebab andaikata tanpa pengetahuan perihal cara peribadatan itu, pastilah bukan ibadat namanya.
Juga sabda Rasulullah s.a.w.:
"Keutamaan orang yang berilmu diatas orang yang beribadat itu seperti keutamaan bulan purnama diatas seluruh bintang-bintang lainnya".
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa-i dan Ibnu Hibban.
Salah satu diantara berbagai-bagai wasiat yang disampaikan oleh Lukman kepada puteranya ialah:
"Hai anakku, pergaulilah para alim ulama dan rapatilah mereka itu dengan kedua lututmu, sebab sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala itu menghidupkan hati dengan cahaya hikmat sebagaimana Dia menghidupkan bumi dengan hujan lebat dari langit".
Halaman: 14 s/d 17
"Allah sudah menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Dia sendiri, juga malaikat dan orang-orang yang berilmu pengetahuan menyaksikan yang sedemikian itu, bahkan Allah itu Maha Berdiri Sendiri dengan adil".
(Q.S. Ali ’Imran 18).
Perhatikanlah ayat diatas, bukankah untuk kesaksian itu dimulainya dengan Dirinya sendiri, menomor duakan golongan malaikat, sedang sebagai nomor tiganya ialah orang-orang yang berilmu pengetahuan. Ini saja sudah cukup sebagai hal yang menunjukkan kemuliaan dan keutamaan mereka itu.
Allah berfirman pula:
"Allah mengangkat orang-orang yang beriman dari golonganmu semua dan juga orang-orang yang dikerunlai ilmu hingga beberapa derajat".
(Q.S. Mujadalah 11).
Juga firman Allah ’azza wa jalla:
"Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang berilmu pengetahuan dan orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan".
(Q.S. Zumar 9).
Demikian pula firman Allah Ta’ala:
"Hanyasanya yang takut kepada Allah dari golongan hamba-hambaNya itu adalah orang-orang yang berilmu pengetahuan".
(Q.S. Fathir 28).
Allah Ta’ala berfirman lagi:
"Andaikata mereka mengembalikan berita itu kepada Rasul, juga kepada orarig-orang yang memegang pemerintahan, pastilah berita itu sudah dimengerti kenyataannya oleh orang-orang yang benar-benar meneliti hal yang sedemikian tadi dari golongan mereka itu sendiri". (Q.S. Nisa 83).
Jadi mengenai hukumnya dalam segala kejadian yang berlangsung, senantiasa dikembalikan kepada orang-orang yang berilmu pengetahuan itu, bahkan martabat mereka itu disusulkan setingkat kemudian sesudah martabat para nabi dalam mengkasyafkan hukum Allah Ta’ala.
Adapun hadits-haditsnya yang berkenaan dengan keutamaan ilmu pengetahuan itu, diantaranya ialah sabda Rasulullah s.a.w.:
"Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah, maka ia dipintarkan dalam hal keagamaan dan diilhami olehNya kepandaian dalam hal itu?".
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan tambahan kata-kata "diilhami olehNya kepandaian" itu diriwayatkan oleh Thabrani.
Juga sabda beliau s.a,w.:
"Para alim ulama adalah pewaris para nabi".
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban.
Sudah jelaslah bahwa tiada, lagi pangkat yang lebih tinggi diatas pangkat kenabian itu dan tiada kemuliaan yang lebih tinggi diatas pangkat sebagai pewaris beliau-beliau itu.
Rasulullah s.a.w. bersabda pula:
"Apabila aku didatangi oleh sesuatu hari dan aku tidak bertambah ilmuku pada hari itu yang dapat mendekatkan diriku kepada Allah ’azza wa jalla, maka tidak ada keberkahan untukku dalam terbitnya matahari pada hari itu".
Diriwayatkan oleh Thabrani, Abu Nua’im dan Ibnu Abdilbar.
Dalam menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan itu lebih utama dari pada ibadat dan penyaksian, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Keutamaan seorang alim diatas seorang ’abid (orang yang beribadat) sebagaimana keutamaanku diatas serendah-rendah orang dari golongan sahabat-sahabatku".
Diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Cobalah perhatikan dengan seksama, betapa nilainya ilmu pengetahuan itu sehingga dipersamakan seiring dengan derajat kenabian dan betapa pula kerendahannya sesuatu amalan yang sunyi dari ilmu pengetahuan, sekalipun yang beramal ibadat itu tentunya tidak terlepas dari pengetahuan cara beribadat yang senantiasa dikekalkan mengerjakannya, sebab andaikata tanpa pengetahuan perihal cara peribadatan itu, pastilah bukan ibadat namanya.
Juga sabda Rasulullah s.a.w.:
"Keutamaan orang yang berilmu diatas orang yang beribadat itu seperti keutamaan bulan purnama diatas seluruh bintang-bintang lainnya".
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa-i dan Ibnu Hibban.
Salah satu diantara berbagai-bagai wasiat yang disampaikan oleh Lukman kepada puteranya ialah:
"Hai anakku, pergaulilah para alim ulama dan rapatilah mereka itu dengan kedua lututmu, sebab sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala itu menghidupkan hati dengan cahaya hikmat sebagaimana Dia menghidupkan bumi dengan hujan lebat dari langit".
Halaman: 14 s/d 17
Rabu, 04 Januari 2017
Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mu'min I
IHYA ULUMIDDIN
Imam Al-Gazali
JILID 1
MUQADDIMAH
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
Kami memuji kepadaMu, wahai Dzat yang Maha Memiliki sifat keagungan dan kemuliaan, atas segala sesuatu yang telah Engkau sempurnakan untuk kami dari agama Islam.
Kami juga menghaturkan ucapan shalawat dan salam atas Nabi pemberi petunjuk dan kerahmatan, yang diutus dengan membawa Al Kitab dan Hikmat, sebagai penutup sekalian Nabi, dan pemimpin para penunjuk kebenaran, yaitu junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. juga atas semua keluarga, sahabat serta pengikutnya.
Amma ba'du!
Bahwasanya pemberian nasihat secara merata kepada masyarakat umum, serta mengusahakan untuk memberikan petunjuk kepada mereka itu secara menyeluruh, adalah termasuk hal-hal yang sangat penting dan utama, yang tergantung pula kepada golongan umat yang istimewa yakni para alim ulama, para muballigh dan sehagainya. Sebabnya ialah karena golongan mereka inilah yang merupakan orang-orang kepercayaan syari’at, bahkan mereka pulalah yang menjadi cahaya lampunya, pelita-pelita ilmu pengetahuannya serta penjaga pagar-pagarnya.
Adapun orang-orang salaf dahulu selalu menyampaikan apa-apa yang terkandung dalam dada mereka yakni apa-apa yang mereka ketahui pada hari kemarinnya mengenai hal ihwal, zaman atau tempat mereka itu. Kemudian setelah pembahasan-pembahasan itu meluas dikalangan Islam, mulailah dihimpunkannya berbagai petunjuk yang diterima langsung dari Nabi s.a.w. untuk diketengahkan kepada seluruh ummat manusia. Selanjutnya demi kekuasaan negara makin meluas dan kemajuan makin besar, maka mulailah timbul percabangan, pengeluaran hukum dan pengambilan-pengambilan secara beristinbath dalam segala bidang dan fan sesuai dengan ghazarah atau peluapan kesempurnaan yang ada. Dengan demikian, buku-buku dan naskah-naskah dalam berbagai ilmu pengetahuan dapat terkumpul bagaikan meluapnya air lautan, sehingga menjadi mudahlah pembahasannya secara besar-besaran bagi siapa saja yang ingin memetiknya. Bahkan buku-buku itu pulalah yang merupakan pegangan utama untuk dijadikan bahan penyiaran, juga sebagai tempat berlindung untuk mengetahui hakikat-hakikat dari ilmu pengetahuan yang diselidiki. Akhirnya beraneka ragamlah ciptaan-ciptaan serta susunan-susunan dalam setiap macam ilmu itu, malahan amat indahlah karangan-karangan yang muncul dalam memberikan pembahasan-pembahasannya.
Oleh sebab bermacam-macamnya naskah yang sudah tersusun sehingga bingunglah pencari atau penuntut ilmu pengetahuan itu memilih mana yang terbagus nilainya dan sebagian besar terhenti untuk mencari mana yang tertinggi mutunya. Penyelidikan untuk meneliti mana-mana yang terbaik itu sampai-sampai menjadi tanda kecerdikan dan mengambil mana-mana yang paling bermanfaat lalu menjadi bukti kepandaian dan kemajuan.
Selanjutnya, berhubung memberi nasihat kepada golongan kaum ’awam, yaitu dengan cara menunjukkan mereka akan jauharnya agama Islam, memberi tahukan kebaikan-kebaikan agama serta kewajiban-kewajibannya, Sunnah serta Haramnya, juga untuk memerintahkan kepada mereka itu agar berbudi luhur dan mulia, melarang mereka dari segala macam akhlak yang rendah dan hina, agar dengan demikian itu mereka dapat menaiki tingkatan yang akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan mereka, oleh sebab semua itu termasuk sepenting-penting dan seutama-utama kewajiban yang harus dilaksanakan, bahkan termasuk pula sekokoh-kokoh kefardluan yang harus dikerjakan, sebab Allah Ta’ala memang sengaja memberikan kepada golongan para alim ulama supaya mengajak- ajak kepada kebaikan, memerintah mana-mana yang ma’ruf dan melarang mana-mana yang mungkar, juga agar orang-orang yang menerima ajakan itu suka mengikuti syari’at-syari’at Allah Ta’ala sehingga gemar mematuhi apa-apa yang diperintah dan dilarang, mau memperhatikan apa-apa yang dijanjikan dan diancamkan, apa-apa yang digembirakan dan ditakut-takuti, maka wajiblah bagi setiap penyiar agama Allah Ta’ala itu, supaya benar giat dalam usahanya untuk menempuh jalan apa saja dalam menuju kesempurnaan da’wahnya itu. Hal ini tentu saja memerlukan kecerdikan dan kebijaksanaannya. Oleh karenanya, ia haruslah memilih dari seluruh karangan-karangan yang ada itu, mana-mana yang paling banyak manfaatnya dan harus pula meneliti dari inti dan sarinya mana-mana yang tertinggi mutu dan nilainya. Maka dari itu, perlulah dicari dengan secermat-cermatnya, sebab belum tentu yang terbanyak digunakan sebagai bahan pengajaran dalam berbagai-bagai majlis itu berupa kitab yang kokoh dasarnya atau banyak memberikan faidah kepada umumnya masyarakat. Memanglah sesuatu yang sudah nyata ketinggian mutunya itu, tidak perlu lagi diberikan pembuktian, yang sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi.
Sesuatu karangan yang disusun yang berjudul sebagai peringatan-peringatan atau nasihat-nasihat untuk umumnya masyarakat merupakan naskah yang amat tinggi nilainya. Tidak mungkin dapat mengerjakannya melainkan seorang yang bijaksana dan amat cerdik serta pandai.
Tahukah Tuan, betapakah tingginya kedudukan seorang juru pengingat, juru nasihat atau juru pemberi petunjuk itu ? Ia adalah seorang manusia yang pasti menjaga benar-benar akan hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Allah, bekerja untuk menerangi akal fikiran, mendidik jiwa, menjernihkan serta memberi kebudayaan hati nurani dalam taraf yang tinggi, memberi cahaya otak, meluruskan i’tikad dan menjelaskan rahasia-rahasia peribadatan. Bahkan juga melemparkan segala tutup yang menyelubungi faham-faham yang terkekang dan terbatas karena daki-daki yang disebabkan oleh kebodohan dan pusaka-pusaka yang berupa kesesatan semata-mata.
Juru peringatan adalah pawaris Nabi Muhammad s,a. w. Ia pasti berdiri tegak atas dasar-dasar dan tujuan syari’at yang murni serta hikmat yang tersirat didalamnya, ia pasti mengetahui letak masalah yang menjadi perselisihan atau persesuaian antara seluruh alim ulama. Malahan ia pastilah dapat membimbing para pendengarnya kepada apa saja yang dapat disesuaikan dari segala macam hukum yang ada. Ia tidak akan meloncat dalam cara pembimbingannya itu sampai kepuncak yang berupa kesulitan atau kesukaran, tetapi tidak pula mengajak menurun sampai ke tingkat memberi kemurahan (rukhshah) yang tidak wajar, sehingga terlampau sangat kemurahan itu diberikannya. Tetapi juru pengingat yang baik adalah yang menuntun ummatnya kearah yang haq dan benar serta jalan yang selurus-lurusnya.
Juru pengingat adalah manusia yang bertugas untuk menyiarkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat antara seluruh ummat, mengajak mereka mengamalkannya, berbicara dihadapan mereka itu dengan mengingat kadar kekuatan otak dan akal mereka, memberikan pimpinan dengan bahasa yang mereka gemari dan mereka mengerti. Ia suka mempergauli ummatnya demi untuk menyampaikan nasihatnya, menghubungi mereka serapat-rapatnya demi untuk mempersatukan hati mereka itu.
Selain itu, juru pengingat adalah merupakan pendorong utama dalam mengeluarkan seluruh ummat manusia dari kegelapan kebodohan ke cahaya ilmu pengetahuan, membebaskan mereka dari perbudakan serta belenggu kekhurafatan dan kemewahan (kebimbangan). Jadi juru pengingat itu sebagai pelita, sekiranya tidak dapat lagi diambil manfaat dari cahayanya, maka tidak diperlukan lagi adanya pelita itu. Oleh sebab itu, amat tepatlah adanya suatu peribahasa yang berbunyi:
"Tidaklah seorang alim itu dapat disebut orang alim sehingga tampak nyatalah bekas ilmunya itu dikalangan kaumnya".
Kalimat diatas memang benar, sebab seorang alim itu tidak hanya akan dimintai pertanggungan jawabnya mengenai dirinya sendiri, tetapi juga yang mengenai keluarga, golongan serta ummatnya. Oleh karena itu, sudah sewajibnyalah kalau juru pengingat tadi suka memberikan pendidikan, suka memberikan nasihat dan mentablighkan sebagaimana yang pernah dilaksanakan oleh Rasulullah s.a. w. Pendek kata, seorang juru pengingat wajiblah sempurna ilmu pengetahuannya, sempurna dan cukup pandai dalam memberikan apa-apa yang diajarkan itu, bahkan wajib pula sempurna dalam cara membimbingnya dan sempurna akhlak serta budi pekertinya.
Rasanya tidak perlu disangsikan lagi bahwa juru pengingat pada masyarakat umum itu, sekalipun sudah demikian kuat bakatnya, demikian luas pengetahuan dan pengalamannya, tetapi masih juga memerlukan suatu bahan yang dapat memberikan bantuan padanya untuk digunakan alat dalam usahanya yang suci itu, juga akan menolong fikirannya apabila ia bermaksud hendak mencari sesuatu yang diperlukan. Tetapi manakah bahan yang sebaik-baiknya untuk dijadikan penolongnya tadi?
Sepanjang yang saya ketahui, diantara sekian banyak karangan yang telah disusun sebagai bahan pengingat-ngingat untuk masyarakat umum belum lagi dapat saya peroleh, yang kiranya dapat memenuhi syarat-syaratnya dengan sempurna, supaya dapat dimengerti benar-benar apa arti dan tujuannya, dicapai yang tersurat dan yang tersirat didalamnya, mencukupi kebutuhan, memuaskan semua yang berupa kelengkapannya, terhindar dari segala macam persoalan yang pelik-pelik dan rumit-rumit, mudah untuk diambil dan difahami, sehingga setiap juru pengingat yang memerlukan dapat meminta pertolongan dari padanya, setiap orang yang ingin menyelidiki dapat petunjuk dengan menelaahnya, bahkan saya senantiasa menanti-nantikan dari sekian banyak kesemerbakan taufik Tuhan yang kiranya dapat menenangkan hati, sehingga akhirnya setelah saya mengadakan percobaan dalam beberapa tahun pengajaran dari setiap kitab yang indah, kemudian beberapa tahun kemudian, saya berpendapat bahwa semanfaat-manfaatnya kitab yang dapat digunakan untuk bahan pemberian nasihat dan pengingat-ngingat kepada seluruh kaum muslimin dan mukminin adalah judul-judul yang dipilih dan disaring dari sebuah kitab yang bernama : IHYA’ ULUMIDDIN, — maknanya MENGHIDUP-HIDUPKAN ILMU-ILMU AGAMA —, sebuah karya besar dari Al’Allamah Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-thusi, ’alaihir rahmah warridlwan.
Kemudian secara kebetulan sekali pada suatu ketika saya bertukar fikiran dengan yang mulia dan bijaksana tuan Imam *1) dan saya ingin memperoleh pendapat beliau yang tepat dalam persoalan yang saya maksudkan ini, lalu dengan menyesal sekali beliau mengemukakan buah fikirannya dan berkata : "Memang dalam urusan ini belum ada suatu naskahpun yang sudah dikarang, tetapi menurut pendapat kami yang terbaik ialah kitab Ihya’ Ulumiddin, namun harus dibuatkan sebagai kesimpulan atau keringkasannya lebih dahulu".
Pendapat beliau yang mulia itu saya anggap sebagai suatu hal yang amat kebetulan sekali. Kini saya ingat pula bahwa ada seorang yang terkemuka juga di daerah Damsyik telah memberikan pertimbangan kepada orang-orang yang meminta pendapatnya, bagaimana cara mengajarkan kitab Ihya’ itu, sebab semula ia mengajarkan bacaannya sehuruf demi sehuruf, dengan meneliti benar-benar kaidah-kaidah nahwu sharafnya, lalu ia mengadu karena merasa sangat sempit dadanya, karena harus mengadakan pembahasan yang sukar dimengerti oleh orang-orang ’awam dan tidak dapat diambil manfaatnya, kecuali oleh orang-orang yang khusus saja. Oleh sebab itu dikemukakanlah pendapatnya yaitu agar dipilihnya saja beberapa fasal yang dianggap sangat penting dan perlu dimaklumi oleh masyarakat umum.
*1) Yang kami maksudkan ialah Al-Ustadz Sjech Muhammad Abduh, Mufti Mesir, sewaktu kunjungan kami di Mesir pada tahun 1321. Kami meminta pertimbangan padanya, lalu beliau memberikan pendapatnya itu ’alaihirrahmah war ridlwan.
Saya sendiri, setelah mengetahui peristiwa-peristiwa yang sedemikian tadi, benar-benar dapat mengakui kesempurnaan kecerdikannya, semoga Allah merahmati dan meridloi padanya. Oleh sebab itu, maka saya bermaksud hendak membuat ringkasan dari kitab yang bermutu tadi yakni Ihya’ Ulumuddin dan usaha itu saya mulai sejak tahun 1323. Ringkasannya itu saya jadikan dua jilid yang serba ringkas, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada. Selain itu saya ikuti cara penerbitannya seperti keadaan aslinya, jadi tidak saya bedakan sama sekali. Saya mengharapkan semogalah dapat terlaksana sebagaimana tujuan yang diidam-idamkan, mudah-mudahan pula akan merupakan penemuan kembali sesuatu milik yang telah hilang. Kepada Allah itulah tempat kita memohonkan pertolongan dan padaNya pula tempat kita bertawakkal.
Halaman: 7 s/d 13
Imam Al-Gazali
JILID 1
MUQADDIMAH
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang.
Kami memuji kepadaMu, wahai Dzat yang Maha Memiliki sifat keagungan dan kemuliaan, atas segala sesuatu yang telah Engkau sempurnakan untuk kami dari agama Islam.
Kami juga menghaturkan ucapan shalawat dan salam atas Nabi pemberi petunjuk dan kerahmatan, yang diutus dengan membawa Al Kitab dan Hikmat, sebagai penutup sekalian Nabi, dan pemimpin para penunjuk kebenaran, yaitu junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w. juga atas semua keluarga, sahabat serta pengikutnya.
Amma ba'du!
Bahwasanya pemberian nasihat secara merata kepada masyarakat umum, serta mengusahakan untuk memberikan petunjuk kepada mereka itu secara menyeluruh, adalah termasuk hal-hal yang sangat penting dan utama, yang tergantung pula kepada golongan umat yang istimewa yakni para alim ulama, para muballigh dan sehagainya. Sebabnya ialah karena golongan mereka inilah yang merupakan orang-orang kepercayaan syari’at, bahkan mereka pulalah yang menjadi cahaya lampunya, pelita-pelita ilmu pengetahuannya serta penjaga pagar-pagarnya.
Adapun orang-orang salaf dahulu selalu menyampaikan apa-apa yang terkandung dalam dada mereka yakni apa-apa yang mereka ketahui pada hari kemarinnya mengenai hal ihwal, zaman atau tempat mereka itu. Kemudian setelah pembahasan-pembahasan itu meluas dikalangan Islam, mulailah dihimpunkannya berbagai petunjuk yang diterima langsung dari Nabi s.a.w. untuk diketengahkan kepada seluruh ummat manusia. Selanjutnya demi kekuasaan negara makin meluas dan kemajuan makin besar, maka mulailah timbul percabangan, pengeluaran hukum dan pengambilan-pengambilan secara beristinbath dalam segala bidang dan fan sesuai dengan ghazarah atau peluapan kesempurnaan yang ada. Dengan demikian, buku-buku dan naskah-naskah dalam berbagai ilmu pengetahuan dapat terkumpul bagaikan meluapnya air lautan, sehingga menjadi mudahlah pembahasannya secara besar-besaran bagi siapa saja yang ingin memetiknya. Bahkan buku-buku itu pulalah yang merupakan pegangan utama untuk dijadikan bahan penyiaran, juga sebagai tempat berlindung untuk mengetahui hakikat-hakikat dari ilmu pengetahuan yang diselidiki. Akhirnya beraneka ragamlah ciptaan-ciptaan serta susunan-susunan dalam setiap macam ilmu itu, malahan amat indahlah karangan-karangan yang muncul dalam memberikan pembahasan-pembahasannya.
Oleh sebab bermacam-macamnya naskah yang sudah tersusun sehingga bingunglah pencari atau penuntut ilmu pengetahuan itu memilih mana yang terbagus nilainya dan sebagian besar terhenti untuk mencari mana yang tertinggi mutunya. Penyelidikan untuk meneliti mana-mana yang terbaik itu sampai-sampai menjadi tanda kecerdikan dan mengambil mana-mana yang paling bermanfaat lalu menjadi bukti kepandaian dan kemajuan.
Selanjutnya, berhubung memberi nasihat kepada golongan kaum ’awam, yaitu dengan cara menunjukkan mereka akan jauharnya agama Islam, memberi tahukan kebaikan-kebaikan agama serta kewajiban-kewajibannya, Sunnah serta Haramnya, juga untuk memerintahkan kepada mereka itu agar berbudi luhur dan mulia, melarang mereka dari segala macam akhlak yang rendah dan hina, agar dengan demikian itu mereka dapat menaiki tingkatan yang akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan mereka, oleh sebab semua itu termasuk sepenting-penting dan seutama-utama kewajiban yang harus dilaksanakan, bahkan termasuk pula sekokoh-kokoh kefardluan yang harus dikerjakan, sebab Allah Ta’ala memang sengaja memberikan kepada golongan para alim ulama supaya mengajak- ajak kepada kebaikan, memerintah mana-mana yang ma’ruf dan melarang mana-mana yang mungkar, juga agar orang-orang yang menerima ajakan itu suka mengikuti syari’at-syari’at Allah Ta’ala sehingga gemar mematuhi apa-apa yang diperintah dan dilarang, mau memperhatikan apa-apa yang dijanjikan dan diancamkan, apa-apa yang digembirakan dan ditakut-takuti, maka wajiblah bagi setiap penyiar agama Allah Ta’ala itu, supaya benar giat dalam usahanya untuk menempuh jalan apa saja dalam menuju kesempurnaan da’wahnya itu. Hal ini tentu saja memerlukan kecerdikan dan kebijaksanaannya. Oleh karenanya, ia haruslah memilih dari seluruh karangan-karangan yang ada itu, mana-mana yang paling banyak manfaatnya dan harus pula meneliti dari inti dan sarinya mana-mana yang tertinggi mutu dan nilainya. Maka dari itu, perlulah dicari dengan secermat-cermatnya, sebab belum tentu yang terbanyak digunakan sebagai bahan pengajaran dalam berbagai-bagai majlis itu berupa kitab yang kokoh dasarnya atau banyak memberikan faidah kepada umumnya masyarakat. Memanglah sesuatu yang sudah nyata ketinggian mutunya itu, tidak perlu lagi diberikan pembuktian, yang sebenarnya sudah tidak diperlukan lagi.
Sesuatu karangan yang disusun yang berjudul sebagai peringatan-peringatan atau nasihat-nasihat untuk umumnya masyarakat merupakan naskah yang amat tinggi nilainya. Tidak mungkin dapat mengerjakannya melainkan seorang yang bijaksana dan amat cerdik serta pandai.
Tahukah Tuan, betapakah tingginya kedudukan seorang juru pengingat, juru nasihat atau juru pemberi petunjuk itu ? Ia adalah seorang manusia yang pasti menjaga benar-benar akan hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Allah, bekerja untuk menerangi akal fikiran, mendidik jiwa, menjernihkan serta memberi kebudayaan hati nurani dalam taraf yang tinggi, memberi cahaya otak, meluruskan i’tikad dan menjelaskan rahasia-rahasia peribadatan. Bahkan juga melemparkan segala tutup yang menyelubungi faham-faham yang terkekang dan terbatas karena daki-daki yang disebabkan oleh kebodohan dan pusaka-pusaka yang berupa kesesatan semata-mata.
Juru peringatan adalah pawaris Nabi Muhammad s,a. w. Ia pasti berdiri tegak atas dasar-dasar dan tujuan syari’at yang murni serta hikmat yang tersirat didalamnya, ia pasti mengetahui letak masalah yang menjadi perselisihan atau persesuaian antara seluruh alim ulama. Malahan ia pastilah dapat membimbing para pendengarnya kepada apa saja yang dapat disesuaikan dari segala macam hukum yang ada. Ia tidak akan meloncat dalam cara pembimbingannya itu sampai kepuncak yang berupa kesulitan atau kesukaran, tetapi tidak pula mengajak menurun sampai ke tingkat memberi kemurahan (rukhshah) yang tidak wajar, sehingga terlampau sangat kemurahan itu diberikannya. Tetapi juru pengingat yang baik adalah yang menuntun ummatnya kearah yang haq dan benar serta jalan yang selurus-lurusnya.
Juru pengingat adalah manusia yang bertugas untuk menyiarkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat antara seluruh ummat, mengajak mereka mengamalkannya, berbicara dihadapan mereka itu dengan mengingat kadar kekuatan otak dan akal mereka, memberikan pimpinan dengan bahasa yang mereka gemari dan mereka mengerti. Ia suka mempergauli ummatnya demi untuk menyampaikan nasihatnya, menghubungi mereka serapat-rapatnya demi untuk mempersatukan hati mereka itu.
Selain itu, juru pengingat adalah merupakan pendorong utama dalam mengeluarkan seluruh ummat manusia dari kegelapan kebodohan ke cahaya ilmu pengetahuan, membebaskan mereka dari perbudakan serta belenggu kekhurafatan dan kemewahan (kebimbangan). Jadi juru pengingat itu sebagai pelita, sekiranya tidak dapat lagi diambil manfaat dari cahayanya, maka tidak diperlukan lagi adanya pelita itu. Oleh sebab itu, amat tepatlah adanya suatu peribahasa yang berbunyi:
"Tidaklah seorang alim itu dapat disebut orang alim sehingga tampak nyatalah bekas ilmunya itu dikalangan kaumnya".
Kalimat diatas memang benar, sebab seorang alim itu tidak hanya akan dimintai pertanggungan jawabnya mengenai dirinya sendiri, tetapi juga yang mengenai keluarga, golongan serta ummatnya. Oleh karena itu, sudah sewajibnyalah kalau juru pengingat tadi suka memberikan pendidikan, suka memberikan nasihat dan mentablighkan sebagaimana yang pernah dilaksanakan oleh Rasulullah s.a. w. Pendek kata, seorang juru pengingat wajiblah sempurna ilmu pengetahuannya, sempurna dan cukup pandai dalam memberikan apa-apa yang diajarkan itu, bahkan wajib pula sempurna dalam cara membimbingnya dan sempurna akhlak serta budi pekertinya.
Rasanya tidak perlu disangsikan lagi bahwa juru pengingat pada masyarakat umum itu, sekalipun sudah demikian kuat bakatnya, demikian luas pengetahuan dan pengalamannya, tetapi masih juga memerlukan suatu bahan yang dapat memberikan bantuan padanya untuk digunakan alat dalam usahanya yang suci itu, juga akan menolong fikirannya apabila ia bermaksud hendak mencari sesuatu yang diperlukan. Tetapi manakah bahan yang sebaik-baiknya untuk dijadikan penolongnya tadi?
Sepanjang yang saya ketahui, diantara sekian banyak karangan yang telah disusun sebagai bahan pengingat-ngingat untuk masyarakat umum belum lagi dapat saya peroleh, yang kiranya dapat memenuhi syarat-syaratnya dengan sempurna, supaya dapat dimengerti benar-benar apa arti dan tujuannya, dicapai yang tersurat dan yang tersirat didalamnya, mencukupi kebutuhan, memuaskan semua yang berupa kelengkapannya, terhindar dari segala macam persoalan yang pelik-pelik dan rumit-rumit, mudah untuk diambil dan difahami, sehingga setiap juru pengingat yang memerlukan dapat meminta pertolongan dari padanya, setiap orang yang ingin menyelidiki dapat petunjuk dengan menelaahnya, bahkan saya senantiasa menanti-nantikan dari sekian banyak kesemerbakan taufik Tuhan yang kiranya dapat menenangkan hati, sehingga akhirnya setelah saya mengadakan percobaan dalam beberapa tahun pengajaran dari setiap kitab yang indah, kemudian beberapa tahun kemudian, saya berpendapat bahwa semanfaat-manfaatnya kitab yang dapat digunakan untuk bahan pemberian nasihat dan pengingat-ngingat kepada seluruh kaum muslimin dan mukminin adalah judul-judul yang dipilih dan disaring dari sebuah kitab yang bernama : IHYA’ ULUMIDDIN, — maknanya MENGHIDUP-HIDUPKAN ILMU-ILMU AGAMA —, sebuah karya besar dari Al’Allamah Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-thusi, ’alaihir rahmah warridlwan.
Kemudian secara kebetulan sekali pada suatu ketika saya bertukar fikiran dengan yang mulia dan bijaksana tuan Imam *1) dan saya ingin memperoleh pendapat beliau yang tepat dalam persoalan yang saya maksudkan ini, lalu dengan menyesal sekali beliau mengemukakan buah fikirannya dan berkata : "Memang dalam urusan ini belum ada suatu naskahpun yang sudah dikarang, tetapi menurut pendapat kami yang terbaik ialah kitab Ihya’ Ulumiddin, namun harus dibuatkan sebagai kesimpulan atau keringkasannya lebih dahulu".
Pendapat beliau yang mulia itu saya anggap sebagai suatu hal yang amat kebetulan sekali. Kini saya ingat pula bahwa ada seorang yang terkemuka juga di daerah Damsyik telah memberikan pertimbangan kepada orang-orang yang meminta pendapatnya, bagaimana cara mengajarkan kitab Ihya’ itu, sebab semula ia mengajarkan bacaannya sehuruf demi sehuruf, dengan meneliti benar-benar kaidah-kaidah nahwu sharafnya, lalu ia mengadu karena merasa sangat sempit dadanya, karena harus mengadakan pembahasan yang sukar dimengerti oleh orang-orang ’awam dan tidak dapat diambil manfaatnya, kecuali oleh orang-orang yang khusus saja. Oleh sebab itu dikemukakanlah pendapatnya yaitu agar dipilihnya saja beberapa fasal yang dianggap sangat penting dan perlu dimaklumi oleh masyarakat umum.
*1) Yang kami maksudkan ialah Al-Ustadz Sjech Muhammad Abduh, Mufti Mesir, sewaktu kunjungan kami di Mesir pada tahun 1321. Kami meminta pertimbangan padanya, lalu beliau memberikan pendapatnya itu ’alaihirrahmah war ridlwan.
Saya sendiri, setelah mengetahui peristiwa-peristiwa yang sedemikian tadi, benar-benar dapat mengakui kesempurnaan kecerdikannya, semoga Allah merahmati dan meridloi padanya. Oleh sebab itu, maka saya bermaksud hendak membuat ringkasan dari kitab yang bermutu tadi yakni Ihya’ Ulumuddin dan usaha itu saya mulai sejak tahun 1323. Ringkasannya itu saya jadikan dua jilid yang serba ringkas, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ada. Selain itu saya ikuti cara penerbitannya seperti keadaan aslinya, jadi tidak saya bedakan sama sekali. Saya mengharapkan semogalah dapat terlaksana sebagaimana tujuan yang diidam-idamkan, mudah-mudahan pula akan merupakan penemuan kembali sesuatu milik yang telah hilang. Kepada Allah itulah tempat kita memohonkan pertolongan dan padaNya pula tempat kita bertawakkal.
Halaman: 7 s/d 13
Langganan:
Postingan (Atom)