Minggu, 08 Januari 2017

B. Menyucikan Hadats (Adab Membuang Hajat Dan Cara Beristinjak)

Termasuk menyucikan hadats itu ialah wudlu, mandi dan tayammum dan sebagai pendahuluannya yaitu beristinjak. Maka dari itu perlu kiranya kami uraikan disini secara tertib dengan menyebutkan sekali adab-adab kesopanannya serta kesunnahan-kesunnahannya. Kami mulai dengan sebabnya berwudlu’ dan adab-adab kesopanan mendatangi hajat (yakni buang air kecil atau besar). Insya Allah.

Adab kesopanan membuang hajat

Seyogianya seseorang yang hendak mendatangi hajatnya (buang air) itu hendaklah menjauh dari pandangan semua orang yang sekiranya dapat melihatnya. Hal ini jikalau melakukannya itu dilapangan yang terbuka. Sebaiknya ia membuat tutup (tabir) dengan apa saja yang dapat digunakan, sekiranya ia dapat menemukannya. Hendaklah orang itu tidak tergesa-gesa membuka 'auratnya lebih dahulu sebelum ia sampai ditempat duduknya (tempat buang air). Juga jangan menghadap kearah kiblat atau membelakanginya. Hendaklah ia menjaga, jangan sampai melakukan itu ditempat yang biasa digunakan orang-orang banyak untuk tempat berhenti dan bercakap-cakap.

Diwaktu membuang air kecil, janganlah ditempat yang berair tidak dapat mengalir, jangan pula dibawah pohon yang berbuah atau ditempat yang berlubang. Juga jangan ditempat yang keras atau ditempat hembusan angin diwaktu membuang air kecil itu, agar supaya tetap terjaga kebersihannya dari percikan air seninya. Disaat melakukannya itu hendaklah duduk bersandar pada kaki kiri.

Apabila melakukan buang air disuatu tempat yang berupa bangunan, maka hendaklah didahulukan kaki yang kiri diwaktu memasukinya dan kaki kanan diwaktu keluarnya. Jangan sampai membawa sesuatu benda yang disitu ada sebutan nama Allah Ta’ala atau Rasulullah s a.w. Ketika masuk, hendaklah mengucapkan.

بسم ٱلله ، أ عود بالله من الخبث و الخبائث
Bismillaah, a'udubillaahi minal khubsi wal khobaais.
"Dengan nama Allah, saya mohon perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan lelaki atau perempuan"

Adapun ketika keluarnya, hendaklah mengucapkan:

الحمدلله الذي أذهب عني ما يؤ ديني وابق علي ما ينفعني
Alhamdulillaahilladii adhaba 'annii maa yu diinii wa abko 'alayya maa yannpa'unii.
"Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan apa-apa yang menyakiti dari diriku menetapkan apa-apa yang memberikan kemanfaatan padaku".

Selanjutnya apabila telah selesai membuang air kecil, hendaklah disempurnakan dengan mengurutnya tiga kali dan jangan banyak memikirkan mengenai kebersihannya itu, supaya jangan sampai berwaswas dan akhirnya akan menyukarkan dirinya sendiri. Jikalau dirasanya masih ada sesuatu yang basah, hendaklah dikira-kirakan saja bahwa itu adalah sisa air yang digunakan beristinjak tadi. Ingatlah bahwa orang yang teringan cara pembersihannya itulah orang yang terpandai fikihnya, sebab adanya kewaswasan itu sebenarnya adalah menunjukkan kekurangan ilmu fikihnya.

Termasuk sesuatu yang dirukhshahkan (keringanan dalam hukum) ialah bahwa seseorang itu boleh saja membuang air kecil didekat kawannya, tetapi harus tertutup dari padanya itu. Hal yang sedemikian ini pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. sendiri, padahal beliau sa.w. adalah begitu sangat malunya. Tetapi dilakukannya juga yang sedemikian itu untuk memberikan penerangan kepada ummatnya bahwa hal itu memang dirukhshahkan.

Cara beristinjak

Untuk sekali duduknya dalam membuang air itu, haruslah beristinjak dengan menggunakan tiga buah batu. Selain batu dapat pula digunakan segala sesuatu yang memang kasar asalkan suci. Selanjutnya dapat pula beristinjak dengan menggunakan air. Caranya ialah supaya menyiramnya dengan tangan kanan diatas tempat yang disucikan, sementara itu tangan kirinya menggosok tempat tadi, sehingga tiada suatu bekaspun yang masih tertinggal disitu. Hal ini dapat dirasakan dengan pegangan tapak tangannya. Hendaklah dalam beristinjak itu, jangan menyangatnya-ngatkan, sehingga sampai-sampai merogoh tempat yang bagian dalamnya, sebab bahkan yang semacam inilah yang merupakan sumber kewaswasan. Hendaklah diketahui bahwa mana-mana anggauta yang tidak dapat dicapai oleh air, maka itu sudah termasuk yang bagian dalam, sedangkan hukum najis itu tidak ada untuk kotoran-kotoran yang ada dibagian dalam tadi, selama belum keluar. Jikalau ia telah keluar dan yang ada itulah yang ditetapkan dalam hukum kenajisan, maka batas penyuciannya ialah cukup asalkan sudah dicapai oleh air yang dilalui kotoran itu dihilangkannya. Dengan demikian, maka tidak ada perlunya lagi untuk kewaswasan itu dilakukan.

Halaman: 39 s/d 41