Allah Ta’ala berfirman:
"Tidaklah Allah itu hendak memberikan kesukaran untukmu, tetapi Dia menghedaki hendak membikin kesucian padamu".
(Q.S. Maidah 6).
Juga firmanNya:
"Didalamnya ada orang-orang yang suka sekali bersuci dan Allah mencintai orang-orang yang bersuci itu".
(Q.S. Taubat 108).
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Kunci shalat ialah bersuci".
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi.
Ada pula keterangannya yang berbunyi:
"Didirikannya agama itu atas kebersihan".
Keterangan ini tidak ada asalnya dari hadits.
Orang-orang yang suka berfikir pasti dapat meneliti bahwa dengan adanya perintah bersuci secara lahiriah itu, sebenarnya yang lebih dipentingkan lagi ialah bersuci secara batiniah. Jauh sekali andaikata yang dituju oleh sabda Rasulullah s.a.w. yang berbunyi:
"Bersuci adalah separuh keimanan".
Diriwayatkan oleh Tirmizi dan Muslim.
Itu semata-mata untuk kesucian luarannya saja yakni dengan menyiramkan air di badan dan membersihkan anggota luar belaka, sedang kebatinannya tetap rusak dan dibiarkan penuh dengan kotoran-kotoran yang bersarang dalam hati serta daki-daki karena keburukan kalbu. Jauh sekali kalau yang dimaksudkan itu demikian. Sekali lagi jauh dan tentu tidak demikian.
Thaharah atau bersuci itu mempunyai empat tingkat yaitu:
*Tingkat pertama ialah membersihkan anggota-anggota lahiriah dari hadats, najis-najis atau kotoran serta benda-benda kelebihan yang tidak diperlukan.
*Tingkat kedua ialah membersihkan anggota-anggota badan dari perbuatan dosa dan salah.
*Tingkat ketiga ialah membersihkan hati dari akhlak-akhlak yang tercela dan sifat-sifat kerendahan yang terkutuk.
*Tingkat keempat ialah membersihkan rahasia batiniah dari sesuatu yang selain dari pada Allah Ta’ala dan ini adalah cara thaharahnya para nabi ’alaihimus shalatu wassalam, juga para shiddiqin.
Seseorang hamba itu tidak mungkin akan dapat mencapai tingkat yang tertinggi melainkan lebih dulu harus melalui tingkat yang ada dibawahnya. Jadi tidak dapat mencapai kesucian rahasia batiniah, terhindar dari sifat-sifat yang tercela dan dipenuhi dengan sifat-sifat yang terpuji, selama ia belum mengisi kebatinannya itu lebih dahulu dengan kebersihan hati dengan menjauhi akhlak yang tercela dan melaksanakan akhlak yang terpuji. Untuk mencapai ini, lebih dulu harus mensucikan anggota-anggota badannya dari menjalankan segala macam larangan agama dan mematuhi segala yang menjadi perintahnya. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang dituntut, apabila hal itu berupa hal yang mulia dan utama, pastilah akan sukar jalan yang ditempuhnya serta banyak pula perintangnya atau resiko yang dialaminya. Maka jangan disangka bahwa semacam hal diatas itu akan dapat diperoleh semata-mata dengan berangan-angan atau dapat dicapai dengan secara mudah sekali.
Memanglah demikian, sebab seseorang yang buta penglihatannya mengenai selisihnya tingkat-tingkat ini, tentu tidak dapat memahami segala macam tingkat kesucian tadi selain tingkat yang terendah sendiri. Sebenarnya tingkat yang terendah itu bolehlah dikatakan hanya sebagai kulit terakhir yang dapat tampak secara lahiriah apabila dibandingkan dengan isi atau sari yang dicari itu. Oleh karenanya orang yang hanya tertipu dengan kulitnya, maka yang menjadi perhatian utamanya, juga waktu yang banyak digunakannya hanyalah untuk meneliti kebersihan beristinja’ (bercebok), mencuci pakaian, membersihkan mana-mana yang tampak diluar atau mencari air yang mengalir dan banyak, dengan sangkaan bahwa itulah yang lebih penting, malahan disertai dengan kuatnya waswas dan merusakkan akal.
Sebenarnya jikalau cara melakukan thaharah yang dituntut dan yang mulia itu hanya sebagaimana itu saja, maka yang sedemikian itu adalah disebabkan karena kebodohannya pada sejarah orang-orang salaf dahulu, sebab bagi beliau-beliau ini yang lebih diutamakan ialah mensucikan hati dan segenap perhatian serta pemikirannya ditujukan untuk yang batiniah ini. Tentang urusan lahiriah beliau-beliau itu amat mempermudahkan. Sampaipun Umar r.a. yang sudah terkenal betapa tinggi martabatnya itu dikalangan ummat Islam, suka juga berwudlu’ dengan menggunakan air dari kendi milik seorang Nasrani. Orang-orang dahulu itu suka pula bersembahyang diatas tanah dalam masjid dan mencukupkan beristinjak dengan batu saja. Jadi seluruh perhatian beliau-beliau itu lebih-lebih ditujukan pada kebersihan batiniah, malahan tidak ada sebuah keteranganpun yang dikutip dari beliau-beliau itu mengenai persoalan atau pertanyaan perkara najis yang pelik-pelik atau yang diperdalam-dalamkan.
Selanjutnya datanglah giliran golongan yang menamakan sesuatu yang bukan-bukan itu sebagai dasar kebersihan, sehingga sebagian banyak waktunya semata-mata dipergunakan untuk menghias keadaan lahiriahnya saja, sebagaimana perbuatan si wanita tukang sisir terhadap pengantin yang dirawatnya, sedangkan kebatinannya hancur dan rusak benar-benar, penuh terisi dengan kotoran-kotoran dan daki-daki kesombongan, ’ujub (merasa heran pada dirinya sendiri), kebodohan, ria’ (pamer atau menonjol-nonjolkan jasanya), kemunafikan dan lain-lain. Hal-hal yang sedemikian itu tidak diingkarinya sama sekali dan kalbunya tidak teringat sama sekali untuk memperbaikinya. Andaikata ada seorang yang meringkaskan istinjaknya dengan batu atau bersembahyang diatas bumi tanpa menggunakan sajadah yang dibeberkan ataupun berwudlu’ dari wadah milik seorang kafir, maka orang-orang yang bodoh itu segera saja melakukan tindakan menyalahkannya, memperhebatkan keingkarannya dan memberinya gelar suka kotor pada orang tadi. Cobalah diperhatikan, jikalau yang sedemikian itu telah terjadi, bukankah sesuatu yang mungkar itu telah dianggap sebagai kebaikan dan yang baik dianggap sebagai kemungkaran. Jikalau sudah demikian, maka bagaimanakah seseorang itu dapat mengikuti ajaran agamanya sesuai dengan yang tersurat, sebagaimana ia dapat mengikuti hakikat dan ilmiahnya.
Setelah kita mengetahui mukaddimah yang ringkas ini, maka kini kita memperbincangkan masalah tingkat-tingkat thaharah. Lebih dulu kita ambillah tingkat keempat yakni kebersihan lahiriah.
Thaharah secara lahiriah itu terbagi menjadi tiga macam yaitu:
a. Thaharah dari kotoran (benda-benda najis).
b. Tharah dari hadats dan
c. Thaharah dari kelebihan-kelebihan anggota tubuh dan ini dapat dilaksanakan dengan jalan memotong kuku, mandi, menggunakan kapur untuk mencabuti rambut ketiak, kemaluan dan lain-lain lagi.
Halaman: 32 s/d 36