Jumat, 06 Januari 2017

Akidah Ahli Sunnah Wal Jama'ah Tentang Syahadat

Dalam Dua Kalimah Syahadat Yang Merupakan Salah Satu Sendi Islam

Kepercayaan para ahlussunnah mengenai Dzatnya Allah Ta’ala yang Maha Suci ialah bahwa Dia adalah Tuhan yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, Maha Dahulu yang tiada permulaannya, kekal wujudNya yang tiada penghabisan untukNya. Dia adalah Maha Abadi, tiada penghabisannya, Maha Kekal, tiada berkeputusan sama sekali. Dia tidak akan sirna dan tidak akan lenyap, berkesifatan dengan segala macam sifat keagungan. Tidak akan terkena hukum musnah atau terputus sekalipun dengan berlalunya beberapa masa habisnya berbagai-bagai waktu.

Bahkan Allah adalah Maha Dahulu dan Maha Akhir. Maha Lahir dan Maha Batin. Dia adalah Maha Mengetahui segala sesuatu. Dia bukanlah merupakan suatu benda yang dapat digambarkan. Dia tidak menyamai apapun yang maujud dan tidak suatu maujudpun yang menyamai sifatNya. Dia tidak dilingkari oleh segenap penjuru dan arah, tidak pula dalam kandungan bumi ataupun langit. Dia "beristiwa' dalam arasy" sebagaimana keadaan yang difirmankannya sendiri dan dengan pengertian yang dikehendakinya sendiri pula. Dia ada diatas ’arasy dan langit, tetapi juga diutus segala sesuatu sampaipun kedasar tanah dan dibalas bumi dan keatasannya itu tidak menambah jarak dekatnya kepada ’arasy atau langit, sebagaimana juga tidak menambah jauhnya dari bumi dan tanah. Bahkan Dia adalah Maha Tinggi derajatnya dari 'arasy dan langit, sebagaimana juga Maha Tinggi derajatnya dari bumi dan tanah. Sekalipun demikian, Dia tetap Maha Dekat dengan segala apa yang wujud, Dia lebih dekat pada hambaNya dari pada hamba itu pada urat lehernya sendiri, sebab kedekatannya itu tidaklah sama halnya dengan pengertian dekatnya segala macam benda, sebagaimana juga Dzatnya itu tidaklah sama dengan dzatnya benda-benda tadi. Dia tidak bertempat disuatu benda dan tidak sesuatu bendapun yang bertempat dalam Dzatnya. Maha Suci Allah dari pada dilingkungi oleh sesuatu tempat, sebagaimana Maha Sucinya dari pada dibatasi oleh masa, bahkan Dia telah ada sebelum mendptakan zaman dan tempat dan sampai sekarang inipun masih tetap dalam keadaan sebagaimana dahulunya itu. Didalam Dzatnya dapatlah Dia diketahui dengan menggunakan akal fikiran, bahkan dapat dikenal pula Dzatnya itu dengan penglihatan nanti diperumahan yang kekal (surga). Hal ini merupakan suatu kenikmatan dari padaNya serta belas kasihan untuk orang-orang yang berbakti padaNya, juga sebagai penyempurnaan kenikmatan yang dikeruniakan olehNya yakni dengan menyaksikan sendiri kepada Wajahnya yang Maha Mulia.

Dia adalah Tuhan yang Maha Luhur, Maha Hidup, Maha Memaksa, Maha Pemberi balasan, yang tidak akan dihinggapi sifat keteledoran serta kelemahan, tidak pula terkena kantuk dan tidur, juga tidak dihinggapi sifat rusak atau mati. Dia adalah Maha Satu dan Sendiri dalam menciptakan dan membuat segala yang baru, Maha Esa dalam mengadakan dan membentuk. Dia adalah Maha Mengetahui segala sesuatu yang dimaklumi, meliputi segala hal atau peristiwa yang terjadi, mulai dari dasar tanah sampai kepuncak langit, tidak terhalang untuk dilihatnya sekalipun seberat debu yang ada di bumi ataupun dilangit Bahkan Dia dapat mengetahui geraknya seekor semut hitam diwaktu malam yang kelam yang berjalan diatas batu licin yang berwarna hitam pula. Dia mengetahui pula bagaimana geraknya sebutir debu ditengah-tengah cakrawala ini. Dia Maha Mengetahui segala yang dirahasiakan atau yang disembunyikan. Diketahuinya pula apa-apa yang terlintas dalam kalbu, apa-apa yang tergerak dalam ingatan ataupun rahasia yang ditutup-tutup. Semuanya itu dimakluminya dengan sifat Ilmunya yang dahulu dan sejak zaman azali. Sifat yang sedemikian ini telah dimiliki olehNya sedari azalinya zaman azali yang dahulu sekali.

Allah adalah Maha Menghendaki pada semua yang maujud ini, Maha Pengatur segala yang terjadi, maka tidak sesuatupun yang berlaku dalam kerajaan dan pemerintahanNya, melainkan semuanya itu pasti dengan sebab sudah ditetapkan dengan qadla’ dan takdirNya, dengan kebijaksanaan dan kemauanNya. Oleh sebab itu, apa saja yang dikehendaki tentu terlaksana dan apa yang tidak dikehendaki tentu tidak dapat terlaksana dan hal ini tidak ada yang dapat menghalang-halangi keputusan yang ditetapkan olehNya. Tidak suatu makhlukpun yang dapat menyalahkan hukumnya.

Allah adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Tidak satupun yang terhalang dari pendengarannya sesuatu yang terdengar, sekalipun amat halusnya, tidak pula satupun yang terhalang dari penglihatannya, sesuatu yang terlihat, sekalipun amat kecilnya. Pendengarannya tidak tertutup karena jauh dan penglihatannya tidak tertolak karena gelap. Pendengaran serta penglihatannya itu tidaklah menyamai dengan pendengaran atau penglihatan yang dimiliki oleh seluruh makhluk, sebagaimana Dzatnya juga tidak menyamai dzatnya makhluk manapun.

Allah adalah Maha Berfirman, pemberi perintah dan larangan, pemberi janji dan ancaman. Al-Qur’an, Taurat, Injil dan Zabur adalah kitab-kitab yang diturunkan olehNya kepada rasul-rasulNya ’alaihimus shalatu wassalam, dengan cara berfirman yang itu adalah merupakan sifat Dzatnya dan bukan merupakan sesuatu makhluk dari sekian banyak macam makhlukNya ini. Bahwasanya Al-Our’an adalah firman Allah yang bukan makhluk, sebab kalau makhluk tentulah akan rusak dan sirna, bukan pula sifat dari makhluk, sebab kalau-demikian tentu punah. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu Maha Esa, tiada sesuatu yang maujud selain Dia, kecuali pasti terjadinya itu dengan perbuatannya juga sebagai luapan dari keadilannya yang terbentuk atas dasar yang sebagus-bagusnya, sesempurna-sempurnanya, selengkap-lengkapnya serta seadil-adilnya.

Dia adalah Tuhan yang Maha Bijaksana dalam segala perbuatannya, Maha Adil dalam segala keputusannya. Maka dari itu semua yang selain Allah, baik yang berupa manusia, jin atau malaikat, yang berupa langit, bumi, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda padat, yang dapat dilihat atau yang dapat dirasakan, semuanya itu adalah benda-benda baru yang diciptakan olehNya dengan kekuasaannya, yakni yang dahulu tidak ada kemudian dijadikan ada, ditumbuhkan dari yang asalnya belum maujud lalu menjadi maujud, sebab sejak zaman azali yang Maha Ada itu hanyalah Allah sendiri dan tidak ada yang lainnya. Maka Allah mengadakan makhluk sesudah itu, sebagai tanda dan bukti kekuasaanNya, juga untuk merealisasikan segala sesuatu yang telah dikehendaki olehNya lebih dahulu, juga karena sebagai kebenaran kalimatNya dizaman azali itu. Segala sesuatunya itu diciptakan, bukan sebab Allah membutuhkan atau berhajat padanya. Dia memberikan keutamaan pada makhluk dengan menciptakan serta membebaninya, ini bukannya sebab Allah berkewajiban demikian. Juga Allah senantiasa mengeruniai kenikmatan dan kebaikan dan ini bukan keharusan Allah untuk berbuat demikian itu. Bagi Allah adalah keutamaan dan kebaikan, kenikmatan dan kerunia.

Allah ’azza wa jalla memberi pahala kepada hamba-hambaNya yang mukmin sebab kebaktiannya dan pemberian pahala ini adalah atas dasar kedermawanan, kemuliaan dan telah dijanjikan, bukan sekali-kali karena dasar Allah berkewajiban melakukan hal itu, sebab tidak ada seorangpun yang dapat mewajibkan sesuatu padaNya itu untuk dilakukan dan tidak tergambar sedikitpun suatu penganiayaan yang datang dari padaNya. Demikian pula tidak ada suatu hakpun yang merupakan kewajiban untukNya terhadap seseorang, sebab hakNya untuk ditaati adalah merupakan kewajiban atas segenap makhluk. Kewajiban ini disampaikan dengan penjelasan para nabiNya ’alaihimus salam, bukan hanya sekedar dengan kemauan akal fikiran belaka. Untuk urusan ini, Allah sengaja mengutus para rasul dan ditampakkan bukti kebenaran mereka dengan memberikan berbagai macam mu’jizat yang nyata. Para rasul itulah yang menyampaikan pada ummatnya apa apa yang menjadi perintah Allah, laranganNya, janji serta ancamanNya. Oleh karena itu, semua makhluk wajib membenarkan apa saja yang mereka bawa dan mereka ketengahkan itu.

Bahwasanya Allah Ta’ala telah mengutus seorang nabi yang ummi, tidak pandai membaca dan menulis, dari keturunan Ouraisy, yakni Muhammad s.a.w. dengan membawa risalah Tuhan kepada seluruh ummat dari golongan bangsa Arab ataupun lainnya, dari golongan bangsa jin dan manusia. Allah telah menutup kerasulan dan kenabian itu dengan mengutus beliau s.a.w. itu. Jadi beliau s.a.w. adalah rasul yang terakhir sekali, sebagai seorang pemberi kabar gembir'a dan menakutkan, pengajak kejalan dan agama Allah dengan izinNya dan juga sebagai pelita yang memberi cahaya. Allah menurunkan kitab suci yang penuh hikmat itu kepada rasulNya yang terakhir itu, dengan kitab itulah Allah menjelaskan agamaNya yang lurus, menunjukkan jalannya yang lurus dan mewajibkan segenap makhluknya untuk mempercayai segala isi berita yang termuat didalamnya.

Ahlussunnah mempercayai pula bahwasanya hari kiamat itu pasti datang dan tiada perlu dibimbangkan lagi dan bahwasanya Allah akan menghidupkan segala sesuatu yang telah mati pada hari itu dan semuanya akan kembali sebagaimana keadaannya semula. Allah telah membuat surga lalu disediakan sebagai perumahan kekal untuk segala orang yang dikasihinya dan mereka ini nanti akan diberi kemuliaan didalam surga itu dengan kerunia yang terbesar yakni dapat melihat kepada wajahnya yang Maha Mulia. Selain itu Allah juga membuat neraka lalu disediakan sebagai perumahan kekal untuk orang yang kafir kepadaNya, bersikap melawan serta membantah ayat-ayatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya dan golongan orang yang sedemikian ini tertutup dari kerunia dapat melihat wajahNya yang Maha Mulia itu. *1)

*1) Sampai disini uraian Imam Al-Ghazali dan keterangan yang sesudahnya ini diambil dari kitab Al-Ibanah oleh Imam Al-Asy’ari.

Kita semua tidak boleh mengkafirkan seseorangpun dari golongan ahli kiblat (orang yang beragama Islam) karena kita melihatnya ia berbuat dosa semacam berzina, mencuri atau minum arak. Juga tidak boleh kita menempatkan seseorang baik dari golongan ahli tauhid atau yang berpegang teguh pada keimanan, bahwa ia akan naik surga atau masuk neraka, kecuali jikalau oleh Rasulullah s.a.w. benar-benar telah dijelaskan bahwa ia pasti dimasukkan surga. Kita hendaknya mendo’akan orang-orang yang berdosa itu, semoga merekapun dapat surga pula, kita takut dan kasihan sekiranya mereka itu akan disiksa dalam neraka. Kita boleh mengatakan bahwasanya Allah ’azza wa jalla nanti akan mengeluarkan beberapa orang dari neraka sesudah mereka itu hangus terbakar, yakni dengan syafa’atnya Rasulullah s.a.w. Hal ini untuk membenarkan berbagai riwayat yang dijelaskan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. Kitapun beriman kepada siksa kubur dan bahwasanya Allah akan menghentikan segenap hambaNya disuatu tempat perhentian (mahsyar) lalu memperhitungkan amalan orang-orang mukmin dan lain-lain. Kita hendaknya mencintai kaum salaf, sebab mereka telah dipilih oleh Allah ’azza wa jalla untuk menjadi sahabat Nabi s.aw. Kita hendaknya memuji kepada beliau-beliau itu sebagaimana Allah memujinya dan kitapun hendaklah mencintai beliau-beliau itu seluruhnya.

Kita harus mengatakan bahwa pemimpin yang termulia sesudah Rasulullah s.a.w. ialah Abu Bakar Ash-shiddiq r.a. dan bahwasanya Allah Ta’ala telah memuliakan agama ini dengannya, mengunggulkannya dari orang-orang yang murtad. Abu Bakar r.a. dikemukakan oleh seluruh ummat Islam dalam jabatan kepemimpinan, sebagaimana Rasulullah s.a. w. sendiri mengemukakannya untuk menjadi imam dalam shalat diwaktu s.aw. sakit. Kaum muslimin menamakannya khalifah atau pengganti Rasulullah s.a.w., kemudian Umar bin Chaththab r.a. dan selanjutnya Utsman bin ’Affan r.a. Sesungguhnya orang-orang yang membunuh Utsman r.a. itu adalah atas dasar penganiayaan dan kedurhakaan. Setelah wafatnya, maka yang menjadi khalifah adalah Ali bin Abu Thalib r.a. Keempat khalifah itulah yang benar-benar merupakan imam-imam sepeninggal Rasulullah s.a.w. dan kekhilafahan beliau-beliau adalah merupakan pengganti kenubuwatan. Kitapun mencintai sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. yang lain-lain dan tidak perlu kiranya kita mengutik-ngutik perselisihan-perselisinan yang pernah timbul antara beliau-beliau itu. Selain itu segala sesuatu yang kita perselisihkan wajiblah kita kembalikan dan kita selidiki sesuai dengan kitabullah Al-Qur’an, sunnah Rasulullah s.a.w., juga ijma’ atau persepakatan kaum muslimin serta yang semakna dengan itu. Kita tidak boleh mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kita yakni hal-hal yang kita tidak diizinkan untuk mengadakannya, juga tidak boleh mengucapkan atas nama Allah itu sesuatu yang kita tidak mengetahui. Kita juga mengetahui bahwa bersedekah untuk kaum muslimin yang telah meninggal dunia ataupun mendo’akan kepada mereka itu adalah bermanfaat sekali, dan bahwasanya Allah akan memberikan kemanfaatan kepada mereka itu dengan sebab sedekah atau do’a yang kita lakukan itu *2). Kita dapat pula mengatakan bahwa kaum Shalihin dapat memperoleh kekhususiatan dari Allah Ta’ala dengan tanda-tanda yang diperlihatkan olehNya untuk beliau-beliau itu.

*2). Dalam kitab Al-Iqna’ dan syarahnya yang dari golongan kitab-kitab madzhab Imam Ahmad bin Hanbal — disebutkan demikian: "Semua peribadatan yang dilakukan oleh seseorang muslim dan dimaksudkan agar pahalanya diberikan kepada seseorang muslim lain, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia, maka hukumnya adalah boleh (jawaz), bahkan kelakuan itupun dapat memberikan kemanfaatan kepada yang dituju itu, sebab berhasillah pahala itu untuknya, sampaipun untuk Rasulullah s.a.w.. Peribadatan yang dimaksudkan diatas itu, baik pun berupa kelakuan yang sunnah ataupun yang wajib yang dimaksudkan sebagai pergantian semacam kaji atau puasa yang dinazarkan ataupun yang selain itu seperti bersembahyang, berdo’a, beristighfar, bersedekah, memerdekakan budak, berkorban, menunaikan hutang atau puasa, demikian pula yang berupa bacaan dan lain-lainnya".

Imam Ahmad berkata: "Segala sesuatu yang berupa kebaikan itu dapat sampai kepada orang yang telah mati, dengan berdasarkan beberapa nash yang ada mengenai hal itu, juga dengan sebab seluruh kaum muslimin disemua negeri telah menyepakatinya. Mereka itu membaca sesuatu lalu mereka hadiahkan kepada saudara-saudaranya yang telah meninggal dunia. Yang sedemikian ini tidak ada yang mengingkari, maka bolehlah dianggap sebagai ijma.

Halaman: 25 s/d 31